Cerpen Mashdar Zainal
Malam itu, kau bersila di loteng rumah kostmu yang amburadul, beratap angin, disangga kursi plastik yang mulai rapuh oleh perjalanan musim. Malam itu, kau bercermin pada langit. Menemani bintang-bintang yang yatim. Menghibur rembulan yang kesepian. Atau mungkin mengejek kunang-kunang yang tak pernah bisa terpejam meski ia terkantuk-kantuk di tilam belukar.
Kedua tanganmu mendekap jilidan tebal, yang sesekali kau buka lalu kau tutup lagi. Lalu, kau tersenyum seolah-olah ditimpa kabar gembira. Hei! Tapi matamu basah. Apa kau terharu? Ah, kau layaknya seorang kafilah yang bahagia usai berjibaku menuntaskan rukun kelima. Sekali lagi wajahmu tengadah, mematut di jentera langit, hingga kau temukan mayamu melebur, berbaur dengan gemintang yang menggigil. Segudang kata, yang dulu sempat terkatung-katung di kepalamu, berjubal-jubal, kini telah kelar kau toreh di atas wajah-wajah kertas, beratus-ratus lembar. Maka draft tebal itu kau tenggelamkan lagi ke dinding dadamu, kau timang-timang serupa bayi cantik tak punya ibu.
***
Kau sudah memikirkannya masak-masak, jikalau mimpi-mimpimu itu benar-benar mekar dan jadi bunga (tak hanya bunga di angan maya); jikalau salah satu dari penerbit itu mau menerima naskahmu dan menerbitkannya menjadi buku, maka pada halaman persembahan, kau akan menyematkan beberapa kalimat. Kau telah merancangnya jauh-jauh, kalimat itu begini bunyinya: Karya sederhana ini saya persembahkan untuk seorang wanita yang tak pernah mengenal nama-nama huruf. Wanita yang selalu membajui hidupnya dengan sabar dan syukur. Mak, kaulah inspirasiku….
***
Demi apapun, kau begitu mencintai wanita itu. Lebih dari cinta itu sendiri. Maka kau takkan sanggup membayangkan jika suatu saat nanti ia meninggalkanmu—sebagaimana seorang lelaki hebat telah meninggalkannya. Ketika ia memejamkan mata, matamu melirik rambutnya yang mulai memutih dan tulang-tulang pipinya yang mulai menonjol, kau ingin menangis. Entah kenapa, kau selalu ingin mengikat serumpun senyum yang kemudian akan kau pajang di jambangan dadanya. Demi apapun, kau begitu mencintainya. Sejarah huruf-huruf yang terburai bersama metaforamu terlahir dari rahimnya yang langut. Kau kembali teringat masa kecilmu.
Kata orang, masa kecil adalah surga bagi perjalanan sepaket nyawa, maka kau selalu mengenang masa kecilmu, di mana bara selalu kau lalui bersama genggaman tangannya, dimana ia selalu memanen banyak hal dari dalam selempitan kalung jaritnya, mulai dari bintang kemukus sampai nasi bungkus, dan semua itu ia peruntukkan untukmu, hanya untukmu.
Kau tak pernah lupa, dulu, di masa kecilmu, sebelum kau terlelap ia selalu sempat mengisahkan banyak hal padamu. Tapi, yang paling suka ia kisahkan ialah kisah tentang seorang laki-laki perkasa yang sama sekali tak kau kenal ranah wajahnya. Kau bisa melihat, betapa lelaki itu serupa emas pun sutera di matanya. Dan sambil mengecup pipimu ia bebisik, “Darah lelaki itu, kini masih terasa gejolaknya, dalam darahmu…”
Ia mengisahkan padamu, bahwa sandiwaranya itu berawal saat ia melanglang jadi buangan di tanah jauh. Tak memiliki siapapun atau apapun. Bahkan jikalau ditimpa dahaga, seolah ia harus meminum keringatnya sendiri. Ia tak ubahnya pesakitan di luar bui. Keganasan tanah rantau telah membuatnya terperangkap dalam labirin-labirin luka.
Padamu, ia juga sempat mengisahkan tentang awal pertemuannya dengan lelaki itu. Ah! Kau menjadi enggan dan cemburu, kalau-kalau wanita itu bercerita tentang perjalanan cintanya bersama lelaki itu, tentu lelaki itu lebih istimewa darimu. Tapi kau teringat, ia pernah berkata, bahwa lelaki itu sekarang telah menjelma menjadi dirimu. Lantas kau tersenyum dan menenggelamkan kepala mungilmu dalam dekapannya yang hangat.
Waktu itu, kau tak bisa membayangkan betapa pelik dan birunya perjalanan hidup dan cinta wanita itu. Yang bisa kau bayangkan hanya beberapa bagian saja, seperti bagian cerita tentang seorang isteri tua yang menyeret dan meludahi isteri muda, dan istri muda itu ialah wanita yang kini ada di hadapanmu, wanita yang pandai bercerita dan begitu kau cinta. Huff, kau sempat bergidik saat membayangkan bagaimana ia diseret dan diludahi.
Kerap kau bertanya-tanya, mungkinkah kisahnya seperti film-film india. Oh ya, kisah Romeo dan Juliet, atau mungkin Sam Phek Eng Thai. Ah, atau jangan-jangan malah seperti kisah Laila dan Majnun. Ah, apa itu? Kau sendiri, mendengar kisah itu dari orang-orang dewasa yang memproklamirkan dirinya sebagai pecinta, mereka pun mendengar kisah itu dari para pecinta yang mendahuluinya yang (juga) telah mendengarkan kisah itu dari para pecinta sebelumnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Sungguh! Waktu itu, kau masih terlalu hijau untuk bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah biru. Khususnya kisah-kisah yang berurusan dengan hati orang dewasa.
Kau benar-benar tak paham, ketika wanita itu berkisah tentang perpisahan dan kepergian, tentang perantauan lelaki yang ia puja-puja itu menuju tanah surga yang baka. Ketika itu, perlahan dari dua sudut matanya mengalir dua anak sungai.
“Dia mangkat saat kau masih berumur satu bulan di sini.” Ujarnya sambil menyentuh perutnya yang kempis.
“Saya juga mau ke surga, Mak. Apa saya diizinkan ke sana? Saya ingin menemuinya dan melihat rupanya, Mak.” Responmu waktu itu.
“Kalu kamu mau menemuinya, rajin-rajinlah kamu mengunjunginya sehabis sujud, dengan tengadah tanganmu ke langit, supaya Yang di Atas mau membukakan pintu langit dan mempertemukanmu dengannya. Apa kamu sungguh-sungguh mau bertemu dengannya? Walau hanya lewat mimpi?” Tanya wanita itu lembut tapi berkabut.
Kau mengangguk. Matamu berbinar-binar, dan wanita itu seperti menemukan telaga kautsar di dalam matamu. Lantas, dikecupnya keningmu agak lama, kau memejamkan mata, meresapi sesuatu yang nyaman, yang mengurai dari bibirnya yang suka berkomat-kamit lama menciptakan sebuah harmoni bersama gemeletak tasbih yang berputar-putar di sela jemarinya, di setiap akhir sepertiga malam.
***
Kini, setelah kau beranjak dewasa, barulah bisa kau cerna segala apa yang pernah ia kabarkan kepadamu. Bagaimana tidak? Berlembar-lembar kisah telah kau selam, mulai dari ceramah-ceramah, film-film, sampai buku-buku. Bahkan kini kau telah pandai bercerita, apalagi merangkai puisi.
Maka impian yang sering menggeliat di kepalamu ialah, kau bisa mengabarkan pada banyak orang tentang tamsil dari perjalanan wanita itu. Meski wanita itu tak pernah mengenal nama-nama huruf, apalagi buku, kau yakin sekali ia akan bangga padamu, bilamana kisah hidupnya dijadikan jilid-jilid, lalu dibaca banyak orang.
Cerita itu sangat berharga bagimu, seolah manik permata yang tersimpan di tempat yang hanya kau ketahui seorang. Kau bisa membiarkannya tersimpan aman, dan kau bisa pula mengambilnya kapan kau mau, untuk kau jadikan sebuah hiasan yang enak kau pandang, dan enak pula dinikmati orang lain. Kau mafhum sepenuhnya, lisanmu ataupun lisannya tak akan sanggup lagi untuk menjabarkan kembali perjalanan panjang itu. Maka untuk kembali merangkai kisah-kisah itu, kau harus menulis sebuah roman, atau paling tidak sebuah novel.
“Jasad boleh rapuh dan mati, tapi apa-apa yang kutorehkan lewat pena akan menjadi mantra yang membaluriku dalam hidup abadi.” Bisikmu dalam hati.
***
“Mak, apa Emak mengizinkan saya, kalau kisah perjalanan hidup Emak saya tulis dan saya jadikan buku?” suatu kali kau menemuinya.
“Tulis? Apa? Jadi buku?” ia mengenyitkan alisnya, kerutan di dahi dan sisi matanya semakin nyata.
“Iya, Mak. Jadi buku, dan dibaca banyak orang.”
“Apa menurutmu, kisah orang seperti Emakmu ini pantas dijadikan buku?”
“Kenapa tidak, Mak? Saya yakin sekali, ada banyak hal yang bisa diambil dari drama yang Mak lakoni selama hidup.” Kau menyakinkannya.
“Makmu ini orang pelon. Bisa saja hikayat yang keluar dari mulut Emakmu ini cuma bualan orang yang mengantuk.”
“Masih jelas, Mak, di kepalaku. Malam itu, Emak bercerita sambil menangis.”
“Bisa saja waktu itu Emak benar-benar mengantuk.”
“Kisah yang mana, Mak, yang menceritakan ada orang bisa mengantuk sedangkan ia dalam keadaan menangis?” tandasmu.
Wanita itu terdiam, tanganya yang rapuh kembali membenarkan letak rambut putihnya yang menyembul di antara bibir kerudungnya yang kusam.
“Kau sendiri, dapat apa dari bualan Emak ini?” tanyanya.
“Bukan bualan, Mak. Tapi semacam, pelajaran. Dan yang paling banyak saya dapat dari sana ialah pelajaran tetang sabar dan syukur. Pasti Emak tahu, selain jujur, sabar dan syukur adalah bekal utama mengarungi samudera kehidupan. Aku tak pernah bisa menebak-nebak, bagaimana Emak bisa menakhlukan drama kehidupan yang biasanya hanya bergumul air mata dan keluh kesah.”
“Hei, setelah jadi anak kuliahan, sekarang kau sudah pandai bermain kiasan, ya?” ujarnya dalam tawa-tawa yang sepi.
Kau menatapnya perlahan, “Bukankah saya belajar semua itu dari Emak?” kau tersenyum.
Ia balas tersenyum, lalu mengusap kepalamu. Dari tanganya dapat kau rasakan sebuah energi yang selama ini menghidupkan ghirahmu untuk selalu optimis memerankan opera kehiudupan.
“Nanti, kalau bukunya terbit, saya berjanji, saya akan membacakannya untuk Emak. Sampai khatam. Apa Emak bisa membayangkan itu?” tak ada yang menandingi optimismu.
Wanita itu tersenyum. Kau bertanya-tanya, apakah itu berarti dia mengizinkan.
“Jadi, bagaimana, Mak? Boleh? Diizinkan?” kau bertanya lagi, lebih seperti merajuk.
Ia masih tersenyum, dan senyum itu ia akhiri dengan anggukan mantap.
Kau rangkul ia dalam-dalam, beberapa kali kau kecup tangannya yang berbau asap dapur, rasanya tak pernah cukup ungkapan cinta itu kau kias-kiaskan. Bukan karena surga ada di telapak kakinya atau karena perintah Tuhan, tapi kau hanya, sangat mencintainya. Itu saja. Tak perlu ada uraian atau pertanyaan baru.
***
Kau terkadang tertawa sendiri, mengingat lakon hidupmu bersamanya. Selalu saja ada banyak keajaiban di balik halimun-halimun biru yang menjadi sekat ruang-ruang kalian. Siapa yang akan menyangka kalau kau bisa meneruskan pendidikan hingga bangku kuliah. Emakmu hanya seorang buruh cuci.
Tak pernah salah kau memperbanyak syukur. Yang Maha Pandai telah menyematkan segumpal otak encer di batok kepalamu. Kalau tidak, mana mungkin kau bisa meraih beasiswa prestasi untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Waktu itu, sebongkah batu benar-benar bersarang di dadamu. Di satu sisi kau harus bertebaran menjemput tinta-tinta yang dicecerkan Tuhan (dan Emakmu menganjurkan itu). Tapi, di sisi lain kau harus meninggalkan wanita yang punggungnya mulai tak tegak lagi itu. Bahkan ketika ia melepasmu berangkat, tak ada habis-habisnya kau menangis, hingga ia mengataimu cengeng.
Untuk mengisi kesepian, emakmu menerima tawaran dari seorang dokter sibuk, lagi-lagi sebagai buruh cuci sekaligus pengurus bayi. Sebenarnya kau keberatan dengan keputusan emakmu itu. Tapi kau sendiri tak mungkin mencegahnya, karena ruang kalian sudah bersekat, bermil-mil jauhnya. Namun sesekali, kau tak pernah lupa untuk menjenguknya, berkirim kabar dan mengobati rindu. Beberapa kali kau menyembunyikan matamu yang berkaca bening, ketika kau amati wajah itu: rambut-rambut yang mulai memutih, kerutan-kerutan yang tipis, atau tulang pipinya yang mulai menyembul, hingga tiba-tiba tergambar dalam benakmu tentang sebuah garis lurus yang mendekati titik ujung. Dan itu yang selalu membuatmu enggan menjauh darinya.
***
Pagi itu, dengan wajah jernih kau jemput dirimu melalui do’a, yang mengantarmu pada langkah-langkah tegap yang mulai mencengkram gili-gili, silih berganti. Draft naskah tebal itu kau masukan ke dalam map lalu kau gamit hati-hati agar tidak lusuh. Kau datangi penerbit yang beberapa waktu lalu mengiklankan diri untuk menerima naskah dari penulis-penulis pemula. Gugup sekali ketika kau menyerahkan naskah itu. Keringat di dahimu mengkilat seperti embun.
“Iya, Mas. Naskah Anda kami terima, untuk kami tampung dan kami seleksi terlebih dahulu. Rupanya banyak sekali naskah yang masuk ke meja redaksi, sehingga kami juga harus jeli dalam melakukan penyeleksian.” Orang penerbitan itu menjelaskan. Maka, embun-embun di dahimu menjadi sejuk.
“Berapa lama, Mas, jangka waktu untuk kepastian naskah itu nanti terbit atau tidak?” Tanyamu lebih ramah.
“Sekitar tiga bulan, Mas. Nanti, kalau naskah Anda memang layak terbit, dalam jangka tidak sampai tiga bulan, kami akan menghubungi Anda.” Jawabnya.
Kau menghela nafas, “Oh, baiklah. Akan saya tunggu. Terima kasih, Mas.” Balasmu pula.
Kaupun berjalan sangat ringan, kau mulai menanam benih-benih harapan yang kau siram dengan sedikit kecemasan. Sejak itu, kau menambahkan satu kalam lagi dalam setiap do’amu. Tidak lain, supaya naskah yang kau tulis dengan susah payah itu tak sia-sia.
Waktu tentu saja berjalan, sebulan, dua bulan, kau menanti, berharap ada kabar paling indah yang akan kau dengar. Tiga bulan lewat, penerbit tidak juga menghubungimu. Dadamu sesak diberondong kecemasan yang mungkin kau lebih-lebihkan. Maka untuk yang kedua kalinya kau bermaksud mendatangi langsung kantor penerbitan itu. Paling tidak untuk mengambil kembali naskahmu. Tapi mungkinkah? Atau barangkali naskahmu sudah jadi penghuni gudang, atau kalau lebih buruk lagi keranjang sampah. Dari pertimbangan-pertimbangan itu, kemudian kau mengurungkan niatmu.
“Bagaimana kabar bukumu? Apa sudah jadi? Kalau sudah, apa kau masih ingin membacakannya untuk Emakmu ini?” cecar wanita itu saat kau menjenguknya beberapa waktu lalu.
Wajahmu pasi, tapi kau menyahut juga, “Tentu, Mak. Tugas Emak hanya berdoa, supaya apa yang telah saya tulis itu benar-benar menjadi buku.”
Emakmu tersenyum saja, “Do’a bagi Emakmu ini sudah seperti nafas. Jadi, bagaimana mungkin Emakmu ini hidup, kalau tidak bernafas.”
Kau lega. Bahagia. Dan detik itu, semangatmu kembali meletup-letup. Kau ingin segera kembali dan menawarkan naskahmu itu pada penerbit lain. Sedikit kekecewaan memang sempat mengobrak-abrik mimpimu. Tapi kau sudah terlalu pandai untuk mengusir kekecewaan-kekecewaan yang hendak berlama-lama menginap di bilik dadamu.
Untuk kali ke dua, kau mengirimkan salinan naskahmu itu ke penerbit lain. Seperti sebelumnya, naskahmu juga diterima dengan baik untuk ditampung dan diseleksi. Sayangnya, kau sudah kelewat muak untuk terus menunggu dan menunggu. Selang waktu hampir lima bulan tak ada kabar, naskahmu masih utuh di meja redaksi, belum tersentuh. Beberapa kali kau hubungi, mereka selalu memiliki alasan yang tepat untuk menjawab protesmu. Bahkan dengan ringan mereka memintamu untuk menarik kembali naskah itu bila kau tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dan kau menyepakatinya. Tanpa banyak bicara, naskah itu kau tarik kembali untuk kau simpan di ruang-ruang kekecewaan yang tak kunjung lapang.
Dari remang kekecewaan itu lantas kau bersikukuh dengan keputusanmu yang baru untuk tetap mencetak lembar-lembar itu sendiri. Tak harus lewat penerbit. Tentu untuk itu kau harus mengeluarkan banyak biaya. Tapi, bagimu itu tidak masalah. Demi mimpimu dan senyum wanita itu kau bisa melakukan banyak hal. Bukankah begitu?
Maka tanpa pemikiran panjang kau memakai uang dari beasiswa yang seharusnya kau pakai untuk jatah makan dan transportmu selama satu semester kedepan. Lalu, kau coba datangi seorang teman yang biasanya mencetak undangan untuk pernikahan. Kau merayunya sedemikian rupa, supaya ia sedia meluangkan waktu untuk tulisanmu, dan kau berhasil. Apapun jadinya, berapapun biayaanya, kau menyepakatinya. Maka kau tak perlu terkatung-katung seperti saat menunggu kepastian dari para penerbit itu.
Tak perlu menunggu lama, dipastikan dalam jangka waktu tak sampai satu bulan, naskahmu akan benar-benar jadi buku dan bisa dibaca orang. Meski konsekuensinya kau harus memperbanyak puasa dan menempuh jarak beberapa kilometer untuk sampai di tempat kuliahmu dengan berjalan kaki, hampir setiap hari. Tapi, lagi lagi, bagimu itu bukan masalah yang patut dikeluhkan. Untunglah kau sudah bersahabat baik dengan lapar dan trotoar-trotoar.
***
Lihatlah! Matamu yang bening bagai tasik kautsar itu kembali. Ada kebahagiaan tersendiri yang tak dapat kau ceritakan ketika seratus eksemplar buku telah bertumpuk rapi di depan matamu. Agak lama kau tersenyum menatap beku eksemplar-eksemplar itu.
Tanganmu bergerak, kau jumput satu dan kau usap lembut seolah ada butir debu yang berbaring di sana. Kau menghela nafas lalu kau cium buku itu. Bau cat sablon kemudian menyengat penciumanmu. Tak apa. Untuk selanjutnya kau sisir halaman buku itu dari lembar ke lembar. Ketika sampai pada halaman persembahan, matamu kembali menjadi kaca-kaca retak. Kau hampir tak percaya kalau yang kau pegang itu adalah hasil dari tarian jemarimu sendiri, kau cetak-cetak sendiri. Tentu saja itu tidak berlebihan. Kau menyebut itu sebagai perjuanagan. Setiap kali dadamu sesak, dan kakimu mulai gemetar, bibirmu selalu bergumam, “Sesungguhnya setelah kesusahan selalu ada kemudahan.”
***
Awalnya, kau membagikan buku-buku itu gratis untuk beberapa teman dekat. Kau bahagia sekali ketika mereka menaggapinya dengan hati. Bahkan beberapa di antara mereka mengaku salut setelah membaca bukumu.
“Aku bohong kalau tidak menangis membacanya. Karyamu benar-benar biru.” tutur seorang temanmu.
“Aku berani taruhan, penerbit itu akan menyesal menelantarkan naskah tulisanmu ini.” ujar yang satunya.
“Aku berani menyebarkan buku ini secara eceran ke teman-teman kita di kampus. Tidak gratis tentunya. Hahaha… Sekarang pertanyaannya, kau berani menyemat harga berapa untuk tiap eksemplarnya?” tanya yang lain. Kau melihat keseriusan itu di mereka.
Ah! Kau tak dapat lagi berkata-kata mendengar komentar-komentar mereka. Yang ingin kau lakukan hanya menemui emakmu dan memperlihatkan buku itu padannya, lalu berbaring di pangkuannya dan membacakan buku itu untuknya. Dan selebihnya, rencanamu, buku-buku itu akan kau serahkan pada teman-temanmu untuk mereka sebarkan, gratis atau komersil, kau tak terlalu mempedulikan itu. Yang paling utama, buku itu dibaca orang, dan meninggalkan bekas bagi siapapun yang membacanya. Cukup, itu saja. Tak lebih.
Tapi, pada suatu ketika yang tak pernah kau duga sebelumnya, saat kau berangkat menuju kuliah, dan langit sehabis hujan, kau disengat oleh sebuah kejutan kala. Kau menemukan beberapa lembar dari halaman bukumu telah jadi carik-carik kertas basah yang tak berarti, berceceran di trotoar-trotoar pinggir kampus. Sebagian dibuat origami burung-burungan dan kapal-kapalan. Malah covernya mengambang terombang-ambing angin dalam kubangan becek bekas hujan. Dadamu sesak. Kelewat sesak. Maka kau punguti kertas-kertas basah itu satu persatu. Kau tak ingin menangis. Kau selalu pandai untuk merangkai alternatif-alternatif kemungkinan yang tidak membuat dadamu semakin sesak.
Terkadang, Tuhan memang suka memancing kesabaran manusia. Dan mungkin, Tuhan sudah tidak tahan untuk mecoba kekesalanmu yang berhari-hari kau giring ke ladang lepas, suapaya tidak menghabiskan kesabaran yang kau tanam bertahun-tahun, yang ditularkan emakmu sedari kecil.
Lihatlah! Kali itu, Tuhan menggodamu lewat hujan. Sore itu, kau dalam keadaan lemas, perutmu melilit dan kepalamu terasa berat, kau berjalan limbung saat memasuki kamar kostmu. Kau benar-benar mau pingsan saat kau dapati tumpukan buku-bukumu itu menjadi hantu, ada yang meleleh kehitaman, betapa mengerikan. Kau terpaku mengamati buku-bukumu yang basah dan tak karuan. Tintanya luntur ditingkah hujan yang bersekongkol dengan lubang-lubang atap.
Kau berlari menghablur ke buku-buku itu. Kau periksa satu persatu. Dan… Sudah tak terbaca. Hanya berupa kertas lembek yang belang-belang, yang hanya patut untuk perapian penahan dingin. Gumpal di dadamu menjadi batu, semakin sesak, tajam dan berat. Mulutmu tak bersuara. Tetapi, sesuatu yang hangat kau rasakan meleleh di wajahmu. Kau buntu. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Tiba-tiba tanganmu meraba-raba tas basah yang berkait di pundakmu. Kau buka tas itu tergesa-gesa. Kau acak-acak isinya. Kau sempat menghela nafas saat kau dapati satu eksemplar buku dalam tasmu masih utuh.
“Aku akan segera pulang, dan memperlihatkan buku ini pada emak.” Lirihmu pilu.
Ketika kau berdiri, kau takjub. Berjuta kunang-kunang menari-nari di matamu lalu pindah ke kepalamu, bergantian dengan kelebat wajah emakmu yang sayu. Kau tidak tahu, apakah waktu itu kau benar-benar mengantuk. Nyatanya semua gelap, seperti saat kau tertidur, bahkan tak ada mimpi sama sekali. Hanya gelap.
Saat matamu tersingkap, barulah kau rasakan seperti mimpi. Tiba-tiba wanita itu sudah mengusap kepalamu dengan mata gerimis. Mulutmu gagu ketika hendak berkata-kata. Emakmu yang memahami kebingunganmu segera menjelaskan, “Tenanglah! Kau berbaring saja. Sepertinya penyakitmu kambuh. Sudah kubilang, jangan terlalu capek, apalagi telat makan. Semalam, teman-temanmu nekat jauh-jauh membawamu pulang. Pagi tadi mereka pamit dan cuma titip salam untukmu, lekas sembuh. Kau tahu, sudah hampir seharian kau ambruk?” ia terdiam dan kembali mengusap kepalamu.
Kau meraih tangannya yang dingin untuk kau bawa ke pipimu yang seperti bara. Tiba-tiba kau teringat sesuatu. Buku itu. Matamu terbelalak mencari-cari buku itu. Kau tidak menemukannya. Kau lepaskan tangannya dari genggamanmu dan beranjak gontai hendak mencari-cari buku itu.
Tapi, Hei! Apa ini? Kau takjub lagi. Kunang-kunang itu kembali untuk mengantarmu pada tidur yang gelap. Melepasmu dari lelah dan sesak yang menggulungmu berhari-hari. Mana kau tahu, emakmu menangis lagi, saat didapatinya kau terjerembab ke tanah lalu tertidur dengan lelehan merah pekat dari lubang hidungmu.
Bersamaan dengan itu, emakmu mendengar seseorang mengetuk pintu. Tukang pos rupanya. Ia membawa sepucuk surat untukmu. Aih! Andai saja kau tahu dari mana surat itu. Surat itu dari penerbit. Apa kau juga mau tahu isinya? Isinya adalah surat kontrak dari penerbit berikut pernyataan bahwa naskahmu diterima dan akan segera diterbitkan.
Emakmu kaku mentapmu yang masih rebah di tanah. Benaknya kalut. Bahkan ia tak sempat memanggil orang untuk membantu mengangkatmu dan memindahkanmu ke tilam. Emakmu ling-lung menatapmu dan amplop itu bergantian. Ia tahu, surat itu untukmu. Untuk siapa lagi? Sayang sekali, ia tak bisa membacanya. Haruskah ia memanggil seseorang untuk membaca surat itu? Ah, tidak. Biar kau sendiri yang membacanya. Ia benar-benar tak akan membuka surat itu sebelum kau bangun. Ia akan menunggumu, sampai kau bangun. Tapi, sepertinya tidurmu sudah terlalu lelap, melebur bersama mimpi-mimpimu yang lenyap tertikam gelap. Apa kau hendak bangun?***
Malang, 2009-2010
Catatan: Cerpen ini meraih juara III Lomba Cerpen Islami FLP Jember se Jawa Timur 2010
Leave a Reply