Berada 150 juta kilometer dari Bumi, panas Matahari sangat begitu menyengat. Bagaimana rasanya panas Matahari itu jika didekati hingga jarak tujuh juta kilometer saja? Itulah yang kini sedang dirancang Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), menuju Matahari.
Lebih dari 400 tahun, astronom mempelajari perilaku Matahari dari jarak jauh. Sekarang, saat bagi NASA mengamati Matahari langsung ke sumbernya. Buat apa mengamati Matahari dari Bumi kalau memang bisa mendekat, begitulah mungkin yang dipikirkan NASA.
”Kami akan mengunjungi bintang yang bernapas itu untuk kali pertama, langsung ke pusatnya,” kata ilmuwan NASA, Lika Guhathakurta, pekan lalu. Bagi astronom, Matahari merupakan wilayah yang relatif belum terjamah dibanding anggota tata surya yang lain. Bulan, satelit Bumi, sudah sejak 1969 didarati manusia. Dan, tak terhitung banyaknya didarati misi tak berawak.
Terakhir, wahana antariksa tak berawak milik NASA, Phoenix, mendarat di kutub utara Mars, 25 Mei 2008. Wahana itu akan memulai tiga bulan masa penelitian terhadap planet terdekat dengan Bumi itu.
Seolah ingin mengulang kesuksesan Phoenix, wahana antariksa tak berawak yang diberi nama Solar Probe+ (baca Solar Probe Plus) akan diluncurkan. Misinya tak tanggung-tanggung, menyentuh atmosfer Matahari. Sebuah misi ‘berani mati’, sekali datang, tak akan kembali.
Bagaimana bisa pesawat mendarat di Matahari? Apakah materialnya tidak menyusut diisap panasnya sang bintang? Tampaknya, semua pertanyaan itu sudah disiapkan jawabannya oleh NASA.
Karena diskenariokan nyemplung ke dalam atmosfer Matahari –di mana jilatan angin Matahari (solar wind) dan badai magnet bakal mengancam– pesawat Solar Probe+ yang merupakan pengembangan dari wahana sebelumnya, Solar Probe, akan didesain tahan panas.
NASA akan menyiapkan material pesawat yang bisa bertahan terhadap panas hingga jarak tertentu dari Matahari. Memang, persiapannya tidak ujug-ujug.
Adalah John Hopkins’ Applied Physics Lab (APL) yang menyiapkan rancangan pesawat tersebut. APL punya riset pendahuluan atas kebutuhan pesawat model yang didesain tahan panas Matahari.
Pada Januari 2008, pesawat APL bernama MESSENGER telah menyelesaikan misinya mengitari Merkurius, planet terdekat dengan Matahari. Berkaca dari MESSENGER, Solar Probe+ pun akan dibentengi dengan teknologi tahan panas serupa. Untuk diketahui, siang hari di sana panasnya 467 derajat Celcius.
Solar Probe+ akan dijaga supaya jarak maksimal terdekatnya tujuh juta km dari Matahari atau sembilan kali radius Matahari. Matahari akan terlihat 23 kali lebih lebar dibanding dipandang dari Bumi.
Di ketinggian itu, material pesawat harus tahan panas lebih dari 1.400 derajat Celcius. Tak hanya itu, pesawat juga mesti kebal terpaan radiasi pada tingkatan yang belum pernah dibuat sebelumnya. ”Kami punya banyak pekerjaan yang harus dipikirkan. Kendati demikian, ini sangat menyenangkan,” kata Guhathakurta.
Diharapkan, pesawat sudah dapat diluncurkan pada 2015. Misi pesawat ditargetkan berakhir tujuh tahun kemudian, dengan sasaran memecahkan dua misteri besar astrofisika serta menemukan hal-hal baru sepanjang perjalanan.
Dua misteri itu, pertama, mengetahui suhu korona Matahari. Korona merupakan lapisan terluar atmosfer Matahari. Paling dalam disebut fotosfer, berikutnya kromosfer.
Bila termometer ditaruh di permukaan Matahari, jarum penunjuk akan mengarah ke 6.000 derajat Celcius. Anehnya, makin keluar, suhu lapisan atmosfer bertambah panas.
Sejauh ini, suhu korona diperkirakan mencapai satu juta derajat Celcius, lebih panas ratusan kali daripada suhu di lapisan dalam atmosfer Matahari. Tingginya temperatur ini menyisakan misteri selama 60 tahun terakhir. Misteri kedua, angin Matahari (solar wind). Ledakan akibat reaksi berantai di pusat Matahari, mengakibatkan terlontarnya partikel bermuatan dengan kecepatan jutaan meter per detik (mph).
Partikel ini terlontar hingga dirasakan planet-planet, asteroid, dan komet. Perhatikan, ekor komet terbentuk karena adanya angin Matahari itu. Yang menarik perhatian, bagaimana angin itu terbentuk hingga dapat mementalkan partikel menuju ke seluruh sistem tata surya?
”Untuk menyingkap misteri ini, Solar Probe+ benar-benar akan memasuki korona. Tempat di mana aksi itu terjadi,” kata Guhathakurta. Guna membuka tabir itu, sejumlah peralatan turut dibawa serta. Semisal, magnetometer, sensor gelombang plasma, pendeteksi debu angkasa, penganalisis elektron dan ion, serta hemispheric imager (HI). ”Perlengkapan itu akan membantu mengurai fisik pemanasan korona dan kecepatan solar wind.”
Sementara itu, HI merupakan teleskop yang dipakai untuk membuat gambaran tiga dimensi korona. Tekniknya dikenal dengan coronal tomography.
Diluncurkan pada Mei 2015, Solar Probe+ akan memulai misi utamanya ketika akhir solar cycle24 dan selesai ketika maksimum solar cycle25 pada 2022. Solar cycle adalah aktivitas maksimum-minimum energi Matahari dengan rata-rata kejadian 11 tahun sekali.
Efek solar cycle bisa dilihat pada lapisan kambium pohon yang bisa menjadi parameter usia tanaman. Solar Probe+ juga akan meneliti sejumlah badai Matahari di akhir misinya. Solar energetic particle yang menjadi ancaman bagi kesehatan dan keamanan astronot juga akan diselidiki Solar Probe+.
Sebelum mencapai korona, Solar Probe+ akan dilempar dengan menggunakan gaya gravitasi planet Venus. Pesawat tak berawak ini akan mengitari Venus tujuh kali dalam enam tahun untuk mendapatkan gaya lempar, sehingga mendekat ke atmosfer Matahari.
Bayangkan permainan lempar cakram. Sang atlet akan berputar untuk memperoleh gaya lontar maksimal. Di Venus, kendati bukan misi primer, astronom akan mempelajari hal-hal baru dari planet tersebut ketika sebuah alat dilemparkan menggunakan efek gravitasi Venus. ”Solar Probe+ adalah misi eksplorasi luar biasa, penemuan, dan pemahaman. Kami tak sabar menunggu untuk segera memulainya,” kata Guhathakurta.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/64.html
Leave a Reply