Kisah Guru Perempuan Mendidik Para Narapidana

okezone.comAnda pernah membaca novel atau menonton film berjudul Laskar Pelangi? Jika sudah pasti tidak akan merasa asing lagi dengan nama Ibu Muslimah. Di situ dijabarkan beliau adalah sosok guru madrasah yang sangat sabar memberikan pelajaran membaca, berhitung, mengaji dan bermain bagi Ikal dan kawan-kawannya.

Seorang Andrea Hirata sangat terinspirasi dengan sosok lembut ibu guru yang bernama lengkap NA Muslimah Hafsari Hamid binti KA Abdul Hamid hingga lahirlah kisah beliau dan perjuangan kawan-kawannya selama menuntut ilmu di SD Muhammadiyah Belitong itu. Suatu karya yang sangat fenomenal dimana filmnya berhasil menyedot 4 juta pengunjung.

Tentu masih banyak lagi pahlawan tanpa tanda jasa yang senantiasa menjadi pelita bagi anak sekolah di pelosok negeri ini. Di Makassar, tepatnya di Jalan Sultan Alaudin ada seorang guru yang tidak hanya sabar dan lembut seperti Ibu Muslimah namun juga seorang yang pemberani dan patut disegani karena mengajar di lembaga pendidikan yang tak biasa.

Lembaga Pemasyarakat (LAPAS) kelas I Makassar, Jalan Sultan Alauddin, Sulawesi Selatan. Inilah tempat di mana Ibu Hj Sulfiah Sultan mengajar. Di sekolah keaksaraan fungsional milik Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (BP PNFI) Regional V Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas).

Penghuninya bukan anak kecil nan manis pintar layaknya sekolah Laskar Pelangi, namun diisi oleh pria tua muda berambut pitak ataupun gondrong, bertato, bercodet dan berkulit hitam legam yang di “sekolahkan” selama belasan dan puluhan tahun karena membunuh ataupun merampok.

Ngeri, itulah yang dirasakan Sulfiah saat pertama kali mengajar 25 narapidana membaca dan menghitung. Lima bulan lalu, saat pertama kali dia harus pergi mengajar di lapas itu, tak henti-hentinya ia memanjatkan doa ketika memakai jilbab di depan kaca.

“Saya berdoa agar diberikan keselamatan, tidak hanya saat perjalanan namun juga saat mengajar karena di depan saya adalah seorang pembunuh, penganiaya ataupun perampok,” kenangnya.

Namun mengajar adalah amanah. Dengan bekal itulah wanita perkasa berusia 52 tahun ini pun naik motor dari rumahnya di Jalan Pintu Kemerdekaan kilometer 17 selama satu jam ke lapas yang dihuni juga oleh terpidana kasus Bom Bali II, Cholily itu.

Rasa ngeri yang dirasakannya hanya bertahan dua hari, selebihnya tak ada beban bahkan dia merasa terpacu untuk mengajar di sekolah tersebut agar anak didiknya tidak menyandang dua status yang sering dicemooh masyarakat, narapidana dan penyandang buta huruf.

Sulfiah menuturkan, butuh kesabaran mengajari anak didiknya itu. “Karakter mereka sangat keras. Saya harus bersikap lembut agar mereka mau menerima saya mengajari mereka,” ungkapnya.

Perhatian lebih juga harus diberikan ke narapidana ini karena mereka juga tersisihkan oleh keluarga di rumah. “Istilahnya saya punya anak selain yang di rumah yang harus saya rangkul,” imbuh Sulfiah seraya menjelaskan bahwa jam mengajarnya mulai dari pukul 08.00-10.00 WITA.

Mendidik para terpidana itu juga butuh kreativitas. Metode pengajaran konvensional tidak dapat diterapkan kepada mereka karena akan membuat para narapidana itu bosan. Oleh sebab itu, selain mengajarkan baca dan hitung, Sulfiah juga mengajarkan pra karya seperti membuat figura, mainan anak dari kayu ataupun bernyanyi untuk memotivasi mereka belajar.

Kepala Seksi Program BP PNFI Regional V Kemendiknas Hasan Mamu menjelaskan, dari 400 narapidana ada 104 napi yang buta huruf. Program pendidikan kesetaraan di Lapas kelas I Makassar ini terdiri dari pendidikan keaksaraan fungsional, pendidikan keterampilan, Paket B dan C.

Mulai Juli kemarin sekolah khusus ini dibuka. “Ini termasuk program Education For All (EFA) yang dideklarasikan oleh 185 negara. Pendidikan ialah hak semua warga negara termasuk yang ada di penjara ini. Kesempatan harus diberikan agar kehidupan mereka lebih baik saat mereka bebas nanti,” ujarnya.

Sulfiah mengajarkan siswa luar biasa yang tak semua guru mau mengajari manusia buangan itu. Ironisnya, Sulfiah hanya dibayar Rp250.000 per bulan. Namun, Sulfiah mengaku rela dibayar tanpa ada tambahan sepeserpun dari pemerintah. Baginya pendidikan keaksaraan yang diselingi dengan moral dan akhlak cukup membuat ia kaya dalam hidup. Baginya dihormati oleh para narapidana ini ialah berkah. Digaji sedikit ialah anugerah karena baginya mengajar adalah amanah.

Dan keihlasannya itu dibuktikan dengan senyuman tulus para narapidana, salah satunya Dewa (29), yang dipenjara 15 tahun karena membunuh seorang tentara. Dia mengaku senang diajari oleh gurunya itu.

Para narapidana inipun tak segan untuk mencium tangan sang guru ataupun membawakan tas hingga ke gerbang penjara ketika waktu belajar telah usai. Semoga di Hari Guru yang jatuh hari ini, penghargaan kepada pelita ilmu ini semakin diperhatikan.(Neneng Zubaidah/Koran SI/ful)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*