Ikhlas dan Kemenangan

Di sebuah majelis bernama SDIT Insan Permata Darun Nadwah, para pemimpin Quraisy berkumpul guna menentukan sikap terhadap Rasulullah Saw.

“Sudah berkali-kali kita membicarakan kepergian Muhammad dan pengikutnya ke Yatsrib, tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun tindakan yang bisa kita lakukan!” ujar seseorang.

“Betul, padahal persoalan ini begitu gawat buat kita. Sadarilah oleh kalian, jika Muhammad dan pengikutnya berkumpul di Yatsrib, suatu saat bisa saja mereka datang ke sini dan menyerang kita!”

 

“Dan kafilah-kafilah dagang kita harus melalui daerah penggiran Yatsrib untuk bisa sampai ke Syam! Apa jadinya jika perdagangan kita mereka tutup? Kita akan kelaparan dan menderita! Persis seperti kita mengurung Muhammad dan keluarganya selama beberapa tahun di Syi’ib Abu Thalib!” jerit yang lain.

Mereka terpaku ngeri membayangkan kemungkinan itu. Sejenak tidak seorang pun tahu harus berkata apa. Sampai akhirnya, seseorang memecahkan keheningan, “Kita harus bertindak! Kemukakan usul kalian tentang apa yang harus kita lakukan!”

 

“Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat, kemudian kita awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia!”

 

Namun pendapat ini tidak mendapat dukungan yang lain.

 

“Kita usir dia! Buang saja dia ke luar Mekah!”

“Namun, nanti dia bisa bergabung dengan pengikutnya di Yatsrib!”

 

Akhirnya, mereka menyetujui usul Abu Jahal yang sangat kejam, “ Kita ambil seorang anak muda yang tangguh dan terpandang dari setiap suku. Kemudian, suruh mereka menusuk Muhammad bersama-sama dengan pedang yang telah diasah setajam mungkin. Bani Abdi Manaf dan Bani Hasyim tidak akan bisa membalas kematian Muhammad karena seluruh suku di sini terlibat dalam pembunuhan itu! Paling-paling kita hanya harus membayar ganti rugi yang bisa kita tanggung bersama-sama!”

 

Pada hari dilaksanakannya rapat untuk membunuh Nabi Saw, Jibril a.s turun dan menyampaikan firman Allah yang membongkar rencana Quraisy tersebut. Setelah itu, Jibril berkata, “Ya Rasulullah! Janganlah Anda tidur malam ini di atas tempat tidur yang biasa, sesungguhnya Allah menyuruh Anda agar berangkat hijrah ke Madinah.”

 

Jibril juga menyampaikan bahwa kawan hijrah Rasulullah adalah Abu Bakar. Setelah mendengar perintah tersebut, tanpa membuang waktu lagi, Rasulullah Saw pergi ke rumah Abu Bakar. Saat itu sedang tengah hari. Panas matahari terasa membakar kepala. Begitu tiba di depan rumah Abu Bakar, beliau segera memanggil-manggil sahabatnya itu.

 

Abu Bakar terkejut. Tegesa-gesa Abu Bakar menyambut Rasulullah dan menyilahkan beliau masuk. Rasulullah Saw duduk dan berkata, “Allah telah mengizinkan aku keluar dan hijrah.”

 

Dengan hati berdebar penuh harap, Abu Bakar bertanya, “Berkawan dengan…saya…ya Rasulullah?”

 

Rasulullah Saw tersenyum, “Ya, dengan izin Allah.”

 

Saat itu juga, Abu Bakar menangis karena begitu bahagia. Sudah berbulan-bulan lamanya ia berharap agar Allah memberinya kehormatan untuk menemani hijrah Rasulullah. Dan saat ini, impiannya itu menjadi kenyataan.

 

Abu Bakar bangkit dan menunjukkan dua ekor unta yang sangat bagus, “Ya Rasulullah, ambillah satu dari kedua ekor unta ini untuk menjadi kendaraan Tuan”.

 

Rasulullah kemudian memilih seekor unta dan beliau namakan Al Qushwa. Abu Bakar segera berkemas-kemas. Beliau memerintahkan kedua putrinya, yaitu Aisyah dan Asma, untuk membantu menyiapkan bekal.

 

Rasulullah cepat-cepat kembali ke rumah dan memanggil Ali bin Abi Thalib. Beliau berpesan agar Ali mengembalikan semua barang yang tadinya dititipkan orang-orang kepada Rasulullah Saw.

 

Abu Bakar berpesan kepada putranya, Abdullah, agar setiap hari mendengarkan rencana-rencana Quraisy saat mereka tahu Nabi Saw telah berangkat hijrah, “Abdullah, setiap petang datanglah ke Gua Tsur tempat Rasulullah dan aku bersembunyi. Ajaklah adikmu, Asma. Suruh ia membawa makanan untuk kami.”

 

Abu Bakar juga menugasi pembantunya, Amir bin Fuhaira, agar menggembalakan kambing-kambingnya di dekat Gua Tsur selama Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di situ. Amir bertugas memerah susu kambing untuk minum Rasulullah dan Abu Bakar, sekaligus memberi peringatan jika orang-orang Quraisy itu mendekat.

 

Malam pun tiba. Nabi Saw telah bersiap-siap. Beliau meminta Ali bin Abi Thalib untuk tidur di atas tempat tidur beliau dan menggunakan selimut yang biasa beliau kenakan. Kemudian, datanglah para pembunuh ke rumah Nabi. Mereka adalah para pemuda kekar yang berasal dari berbagai kabilah.

 

Pembunuh-pembunuh itu bersenjata lengkap dan mengepung rumah Rasulullah dari segala penjuru: depan, belakang, dan samping. Disertai para ketua kabilah, jumlah semuanya hampir seratus orang. Tampaknya tak ada celah sedikitpun untuk meloloskan diri.

 

Menurut sebuah riwayat, salah seorang dari mereka mengintai ke dalam rumah Nabi Saw dengan cara memanjat. Para pembunuh terus berusaha mengintai untuk memastikan apakah Nabi Saw masih berada di dalam rumah atau tidak. Ketika melihat Ali bin Thalib yang tidur dengan selimut,mereka menyangka itu adalah Nabi. Dengan demikian, tenanglah mereka.

 

Bagaimana cara Rasulullah Saw meloloskan diri dari kepungan yang sangat rapat itu? Ketika saatnya tiba, Rasulullah Saw keluar rumah dengan sangat perlahan. Beliau mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke kepala para pengepung sambil membaca doa. Dengan pertolongan Allah, para pengepung itu tidak dapat melihat Nabi Saw keluar rumah. Bahkan semuanya jadi mengantuk dan tertidur. Nabi pun pergi.

 

Tidak lama kemudian, Abu Bakar datang. Setelah tahu apa yang terjadi, Abu Bakar segera menyusul Nabi dan berhasil menemui beliau di tengah perjalanan menuju Gua Tsur.

 

Pagi hampir tiba ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua yang tidak seorang pun pernah melihatnya. Orang itu berseru nyaring untuk membangunkan para pengepung, “Hai orang banyak! Kamu semua di sini sedang menunggu apa? Mengapa kalian tertidur demikian pulas?”

 

“Kami sedang menunggu Muhammad! Bukankah ia masih tidur di dalam?”

 

Orang tua itu menggeleng-geleng, “Kasihan…kasihan…kasihan sekali kalian! Muhammad sudah pergi dari tadi setelah menaburkan pasir di kepala kalian!”

 

Para pemuda gagah itu bangkit sambil membersihkan pasir di kepala mereka, “Aduh, pasir di kepala kita! Sungguh keterlaluan! Keterlaluan!”

 

Salah seorang dengan gemas menggedor-gedor pintu rumah Nabi Saw, “Muhammad! Muhammad! Muhammad!”. Kemudian mereka menyerbu masuk dengan pedang terhunus. Hanya dalam waktu beberapa detik, mereka mengelilingi tempat tidur Nabi. Dengan kasar, selimut ditarik dan pedang-pedang terangkat siap untuk dihujamkan. Namun, Ali bin Abi Thalib yang tidur di tempat Nabi itu segera melompat bangun dan siap menghadapi maut.

 

Wajah para pemuda itu membeku pucat melihat bukan Nabi yang barusan berbaring.

 

“Mana Muhammad?” hardik mereka kasar.

“Aku tidak tahu!” jawab Ali bin Abi Thalib.

 

Para pemuda itu kemudian menggiring Ali bin Abi Thalib ke dekat Ka’bah. Di sana mereka memukuli, menendang, dan menampar wajah beliau. Namun Ali, lebih baik mati daripada mengatakan di mana Nabi berada. Dengan putus asa, mereka pun melepaskan Ali bin Abi Thalib yang telah bertahan demikian berani.

 

Saat itu Rasulullah Saw dan Abu Bakar tiba di Gua Tsur. Abu Bakar meminta Rasulullah menunggu sebentar di luar. Abu Bakar tahu Gua Tsur banyak dihuni binatang-binatang liar, buas, dan berbisa seperti ular dan kalajengking. Tidak seorang pun berani masuk ke dalamnya.

 

Abu Bakar masuk dan membersihkan gua tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam. Ia merobek pakaiannya secarik demi secarik untuk menyumpal semua lubang yang terlihat. Setelah itu, dengan pakaian terkoyak-koyak, ia menyingkirkan batu-batu. Mendadak seekor ular yang bersembunyi dibalik bebatuan itu menggigit kakinya dengan keras. Sakit bekas gigitan itu seperti hendak meledakkan kepala.

 

Namun Abu Bakar menahan rasa sakit itu dan terus bekerja tanpa bersuara. Setelah selesai, Rasulullah Saw pun masuk. Demikan lelahnya beliau hingga tertidur dengan meletakkan kepala di pangkuan Abu Bakar. Saat itu, rasa sakit bekas gigitan ular semakin terasa menyengat sampai-sampai air mata Abu Bakar menetes-netes. Setitik air mata itu menetes ke muka Nabi. Beliau bangun dengan terkejut.

 

“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Bakar?”

“Saya digigit ular, ya Rasulullah.”

“Oh, mengapa tidak engkau katakan dari tadi?”

“Saya takut membangunkan engkau.”

 

Rasulullah memeriksa luka Abu Bakar dan mengusapnya. Seketika itu juga, bengkak dan rasa sakitnya lenyap. Kemudian Rasulullah bertanya, “Kemana pakaianmu?”

 

Abu Bakar menceritakan semua yang terjadi. Rasulullah Saw terharu. Beliau pun berdoa, “Ya Allah, jadikan Abu Bakar kelak di Hari Kiamat pada derajatku!”

 

Di Mekah, musyrikin Quraisy tampak panik. Para pembesar berkumpul sepagi mungkin. Dengan segera, pasukan berkuda disebar ke beberapa perkampungan seputar Mekah untuk mencari Nabi Saw.

 

“Mengapa Muhammad bisa lolos? Bukankah kita telah mengepungnya begitu rapat sampai tak seekor ular gurun pun dapat lolos?” jerit seorang pembesar.

 

Semua orang terdiam. Mereka berusaha mencari jawabannya. Namun, tak seorang pun bisa menjelaskan apa yang terjadi. 

“Sudahlah, itu tidak penting!” akhirnya seorang berseru. “Sekarang yang paling mendesak adalah menemukan Muhammad secepat mungkin! Ada yang punya usul?”

 

“Panggil pencari jejak yang paling ahli! Suruh dia melacak jejak Muhammad!”

 

Usul itu segera dijalankan. Pencari jejak yang amat ahli itu mengikuti jejak yang ditinggalkan Rasulullah Saw. Pasukan bersenjata lengkap mengikuti di belakangnya dengan wajah tak sabar. Sebagian besar dari mereka adalah para pemuda yang semalam ditugaskan menyergap Rasulullah.

 

Setelah bekerja dengan teliti, pencari jejak itu menarik napas sambil menggeleng, “Jejaknya sudah terhapus oleh orang yang lalu lalang tadi pagi!”

 

“Gawat!” gemas seseorang. “Apa kau punya usul lain, pencari jejak?”

“Siapa sahabatnya? Kita bisa bertanya kepada sahabat Muhammad yang paling dekat!”

 

Orang Quraisy saling pandang dan serempak bergumam, “Abu Bakar!”

Dipimpin Abu Jahal, pasukan pencari itu tiba di rumah Abu Bakar. Asma binti Abu Bakarlah yang keluar membukakan pintu.

 

“Di mana ayahmu?” bentak Abu Jahal.

“Dia pergi dan saya tidak tahu kemana perginya,” jawab Asma dengan berani. 

“Jangan berdusta, katakan kemana perginya?”

“Saya tidak tahu! Di rumah hanya ada ibu dan saudari saya.”

“Ah, terlalu!” sambil bersungut begitu, Abu Jahal menampar wajah Asma keras-keras.

 

Ketika mereka keluar kota dan menjajaki beberapa jalan, sang pencari jejak menemukan jejak mencurigakan. Kemudian, satu kelompok pasukan berkuda mengikuti jejak itu sampai tiba di kaki Gunung Tsur. Namun, di situ jejak terputus. Mereka kebingungan.

 

“Ke mana arah kita? Ke kanan atau ke kiri?” tanya komandan pasukan. “Apakah Muhammad masuk ke dalam gua itu terus mendaki ke puncak?”

 

“Aku tidak tahu,” geleng si Pencari Jejak. Namun lewatlah seorang gembala dan mereka menanyainya. “Mungkin saja mereka masuk ke dalam gua itu,” jawab sang gembala. “Tapi aku tidak melihat ada orang yang menuju ke sana .”

 

Di dalam gua, keringat dingin Abu Bakar mengalir mendengarnya, “Bagaimana kalau mereka sampai masuk ke sini? Bukan keselamatanku yang kukhawatirkan, melainkan keselamatan Rasulullah!” kata Abu Bakar dalam hati.

 

Beberapa pemuda naik dan melongok-longok ke mulut gua. Jantung Abu Bakar hampir lepas. Ia berbisik, “Ya Rasulullah, kalau ada yang menengok ke bawah, pasti kita akan terlihat.”

 

Nabi menjawab mantap, “Jangan takut Abu Bakar, sesungguhnya Allah bersama kita.”

Para pemuda itu turun, kembali ke pasukannya. 

“Mengapa kalian tidak masuk ke dalam gua?” tanya komandan mereka dingin. 

“Gua itu tertutup sarang laba-laba! Tidak mungkin Muhammad masuk ke dalam tanpa merusaknya!” 

“Lagi pula ada dua ekor burung merpati hutan bersarang tepat di mulut gua!” lapor yang lain. “Jika Muhammad masuk ke dalam, sarang itu juga pasti akan rusak.”

 

Komandan pasukan mengalihkan mukanya ke arah lain sambil menghela napas, “Baiklah, naik kudamu! Kita cari ke arah lain!”

 

Pasukan pun menjauh. Sarang laba-laba dan burung merpati yang menutupi gua adakah pertolongan yang diberikan Allah SWT. Padahal, sebelum Nabi Saw dan Abu Bakar masuk, tak ada laba-laba dan burung merpati yang bersarang.

 

Tiga hari tiga malam lamanya Rasulullah Saw dan Abu Bakar tinggal di Gua Tsur. Selama tiga hari itu pula, musyrikin Quraisy kelabakan. Abdullah bin Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Setiap hari ia memata-matai pembicaraan orang Quraisy dan menyampaikannya ke Gua Tsur ketika petang tiba. Asma bin Abu Bakar setiap sore selalu mengantarkan makanan bersama Abdullah. Sedangkan Amir bin Fuhairah yang menggembalakan kambing di luar Gua Tsur selalu memerah susu kambing agar Rasulullah Saw dan Abu Bakar tidak kehausan sekaligus memberi tahu jika ada orang mendekat.

 

***

 

Banyak ibrah yang bisa dipetik dari sepenggal episode perjuangan Nabi Saw tersebut, baik bagi individu maupun organisasi dakwah. Kata-kata kunci yang bisa kita petik adalah bahwa kemenangan itu adalah semata-mata karena pertolongan Allah. Namun demikian, berikhtiar dan menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi rintangan adalah kewajiban yang harus ditunaikan secara maksimal.

 

Betapa banyak orang yang mengharapkan pertolongan Allah namun tidak melakukan ikhtiar yang maksimal dan betapa banyak orang yang keras dalam berikhtiar tetapi tidak menggantungkan hasil akhirnya pada Allah SWT. Dalam kisah tersebut, Ikhtiar yang optimal tercermin antara lain dari tindakan berani Ali bin Abi Thalib yang tidur di tempat tidur Rasulullah, tindakan Rasulullah yang keluar di waktu siang yang panas terik ke rumah Abu Bakar, keluarnya Rasulullah Saw dari rumah Abu Bakar melalui celah dinding, dan pembagian tugas yang rapi di antara kader-kader pendukung dakwah Muhammad Saw.

 

Bagaimana kita mengetahui bahwa upaya yang kita lakukan itu adalah sudah maksimal? Sebab seringkali seseorang beranggapan bahwa upaya yang dilakukannya adalah sudah maksimal, sementara menurut pendapat orang lain tidaklah demikian.

 

Antara pertolongan Allah dan upaya yang maksimal adalah ibarat sebuah fungsi yang berbanding lurus. Seberapa besar pertolongan Allah yang kita peroleh adalah sebanding dengan kuantitas dan kualitas upaya yang kita lakukan. Dengan demikian jika kita merasa belum mendapat pertolongan Allah, maka berarti upaya yang kita lakukan adalah belum maksimal, baik sisi kuantitasnya maupun kualitasnya. Pandangan ini cukup bermanfaat agar kita selalu bermuhasabah dan selalu terpacu menuju kondisi lebih baik.

 

Setiap diri atau organisasi mendambakan sebuah kemenangan. Dan kemenangan itu ditentukan oleh seberapa maksimal upaya kita, baik dari sisi keikhlasan niat, kesungguhan, dan metode (strategi) dalam meraih kemenangan itu. Dan yang patut kita waspadai bahwa kemenangan yang diperoleh itu terkadang bukanlah kemenangan yang sesungguhnya melainkan sebentuk ujian dari Allah SWT. Hanya orang-orang yang terjaga kebersihan niatnya (ikhlas) sajalah yang akan meraih kemenangan yang sesungguhnya.

 

Keihklasan itu sangat tercermin dari kebersihan hati  Nabi Saw selalu pemimpin, dan kesetiaan dan ketaatan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Asma, dan lainnya selaku kader dakwah.

 

Semoga kita bisa mengambil ibrah yang besar dari kisah tersebut sebagai bekal untuk kemenangan di masa depan. Amin.

 

Wallahua’lam bishshawaab.

1 Trackback / Pingback

  1. Wakaf Tanah Masjid SDIT Insan Permata | LPIT INSAN PERMATA MALANG

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*