SEKOLAH MENULIS KEARIFAN-Pertengahan Okober ini, di Damaskus, Syria, diluncurkan sebuah buku yang sangat menggugah. Buku yang diberi judul, “Kakiku di Atas dan Aku Berjalan dengan Tangan” itu merupakan kumpulan tulisan anak-anak korban perang yang terpaksa mengungsi ke negeri itu. Anak-anak itu adalah pengungsi dari Irak, Palestina, dan juga Somalia yang diurus oleh Komisi PBB untuk pengungsi, UNHCR perwakilan Syria.
Judul buku itu sendiri diambil dari tulisan salah satu dari mereka, Yusuf Laits (7) tahun, yang aslinya menulis “Kakiku di atas dan aku berjalan dengan tangan ke Australia”. Kegiatan menuliskan perasaan sebagai pengungsi tersebut, digagas dan dikelola oleh seorang wartawan Syiria, Bari Khalil.
Bari Khalil berkisah, “Buku ini merupakan upaya yang bisa saya lakukan untuk menggali kenyataan. Betapa bekerjasama dengan anak-anak pengungsi itu sungguh pengalaman mengagumkan. Setiap anak menuliskan pengalamannya, kenapa mereka terusir dari negerinya, serta apa persepsi mereka tentang invasi dan penjajahan atas negeri mereka. Siapapun tidak akan menyangka kemampuan mereka dalam mengungkapkan itu semua. Realitas yang sesungguhnya seringkali datang dari mulut anak-anak.”
Bari Khalil menambahkan, “Anak-anak pengungsi itu tidak punya waktu untuk mendengarkan kisah-kisah khayalan, seperti cerita tentang Tuan Putri yang Tertidur, Sinbad, Ali Baba, dan sejenisnya. Kisah mereka adalah ‘warna-warna merah, kekerasan, dan keterasingan.”
Salah satu tulisan di buku itu dibuat oleh Aminah Bayati (14). Ia menulis tentang negerinya, Irak yang terluka. “Sebuah mobil meledak di salah satu jalanan Irak. Ledakan yang sangat besar. Aku membayangkan, sekiranya itu adalah mobil es krim, niscaya Baghdad akan penuh dengan es krim yang lezat,” tulis Aminah.
Hasan Adeli (10) menulis juga tentang negerinya, Irak yang terkoyak, “Aku menonton berita di televisi ada berita yang sangat-sangat buruk tentang Irak. Lalu aku membuat senjata api dari roti, dan televisi itu pun meledak.”
Abbas Ali (11) menulis, “Warna kuning dan biru pekat bermain-main dengan asyik, lalu datanglah warna merah menghancurkan permainan. Dan negeriku adalah Irak.”
Nur Adeli (10) menulis, “Aku tidak ingin kebenaran itu tersembunyi seperti setitik air.”
Abbas Ali juga menulis tentang mengungsi, “Kami sangat tersiksa di sepanjang perjalanan. Orang-orang memberhentikan kami di perbatasan, sampai kami tiba di Syria. Padahal aku belum tahu jalanannya, belum terbiasa dengan situasinya. Aku waktu itu sangat terguncang, karena kami keluar dari negeri kami, Irak, disebabkan perang. Aku adalah seorang pengungsi yang berduka.”
Tulisan-tulisan itu begitu menyentuh. Lucunya, ada beberapa kalimat yang kurang huruf, kurang titik. Menanggapi hal itu, Bari punya pandangan sendiri. “Apa yang mereka tulis seperti kota mereka yang baru, yang mereka sendiri tidak tahu itu di mana. Huruf-huruf yang kurang pada kata dan kalimat yang mereka tulis seperti rumah mereka dan jalanannya. Penuh dengan asap ledakan. Impian mereka seperti udara yang hampa.”
Diterjemahkan Dalam Lukisan
Peluncuran buku itu terasa sangat istimewa. Sebab, acaranya dilanjutkan dengan pameran lukisan di mana 20 orang pelukis diundang dan diminta membuat lukisan yang menggambarkan perasaan yang telah ditulis anak-anak pengungsi itu.
Pameran yang dihadiri oleh banyak sekali pengunjung itu memang mengagumkan. Raba Quwais, salah satu pengunjung mengatakan, “Pameran ini sungguh menakjubkan. Idenya sangat mengagumkan, dimana digabungkan antara tulisan anak-anak pengungsi dengan lukisan seniman.”
Salah satu pelukis, Tania Kiyali mengatakan, “Saya diundang untuk berpartisipasi mengubah ke dalam gambar apa-apa yang ditulis oleh anak-anak itu, yang dapat mengungkapkan beban yang mereka hadapi, perasaan mereka, pikiran mereka, yang mereka tinggalkan di tanah air mereka.”
Tania sendiri melukis untuk tulisan seorang anak bernama Bilsan, umur 12 tahun. Anak itu bercerita tentang kepergiannya dari Palestina. Anak itu menuliskan, “Waktu terjadi perang di Palestina, aku hanya sempat mengambil benda kecil di dalam tasku, pada saat yang sama aku hanya bisa mengambil aroma tanahnya dan meletakkanya di hidungku.”
Pelukis lain, Karim Qabrawi, yang melukis tulisan Abbas Ali, tentang warna kuning dan biru yang dihancurkan warna merah, mengatakan, “Pelukis, biasanya berusaha menangkap pesan pada anak sebagai obyek. Sedang di sini, sangat unik di mana anak-anak itu yang membawa pesannya untuk pelukis melalui ungkapan tulisan mereka. Program ini memberikan spirit baru sekaligus tantangan bagi kami.”
Kepala Bidang Sosial lembaga itu, Zahrah Mirghani mengatakan, “Anak-anak ini memiliki perasaan yang sangat sensitif, dilihat dari usia mereka yang masih kecil-kecil. Setiap cacat yang melukai dunia anak-anak itu akan memberi bekas besar bagi perkembangan dan kesehatan jiwa mereka. Masa depan mereka bisa menyimpan masalah.
Media-media setempat, merespon dengan luar biasa acara terebut. Di antaranya ada yang mengawali beritanya dengan menulis, “Bagamana bila anak-anak menuliskan kehidupan mereka yang asing, atau kisah-kisah yang mereka dengar dari keluarga mereka. Kemana mereka hendak mencari mimpi? Bagaimana mereka mengisahkan kota-kota di pengungsian yang boleh jadi bukan di sana mereka dilahirkan. Yang menjadikan mereka secara sederhana harus memiliki sebutan ‘pengungsi?’. (zairofi am)
Leave a Reply