Akhlak Mulia sebagai Inti Kebajikan

69akhlak-mulia-ilustrasi-_120120171453-602Hadits Arba’in Nomor 27

Bagian Ketiga

 

ummi-online.com – Di antara kandungan hadits Arba’in Nawawiyyah yang ke-27 adalah penjelasan Rasulullah saw bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik).

Rasulullah pernah bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik” (HR Muslim). Penegasan Rasulullah ini mirip dengan penegasan beliau saw bahwa haji adalah Arafah, di mana tidak bisa disebut haji kalau tidak melakukan wuquf di Arafah. Ini berarti seseorang tidak memiliki kebajikan manakala ia tidak memiliki akhlak yang baik.

 

Definisi akhlak

Secara bahasa, kata akhlaq (akhlak) adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Menurut Ibnu Manzhur (630–711 H/1232–1311 M), pakar bahasa Arab, khuluq bermakna agama, tabiat dan perangai. Masih menurut beliau, antara akhlaq dan khalq (penciptaan) memiliki pertalian yang sangat dekat. Kalau khalq (penciptaan) adalah bentuk, sifat dan nilai-nilai yang bersifat lahiriah sebagaimana yang diciptakan Allah, maka khulq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang bersifat batin.

Kedua hal ini, khalq dan khuluq, terkadang disifati dengan baik dan terkadang disifati dengan buruk. Pahala dan dosa lebih dikaitkan dengan yang bersifat batin (khulq) daripada yang bersifat lahir (khalq) (lihat: Lisan al-‘Arab pada Bab kha–lam– qaf).

Imam Ghazali rahimahullah (450–505 H/1058–1111 M) mendefinisikan akhlak  sebagai kondisi yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (lihat: Ihya’ ‘Ulumud-din).

Sementara menurut Imam Qurthubi rahimahullah (600–671 H/1204–1273 M), akhlakadalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari penciptaan dirinya.

Intinya, akhlak adalah tabiat, perangai, adab dan nilai-nilai agama yang dipegang teguh oleh seseorang dan menjadi komitmen dirinya, sehingga seakan semua ini menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Demikian menyatunya, sehingga kemunculannya bersifat otomatis, tidak dibuat-buat, dan dipaksa-paksakan.

 

Kedudukan akhlak dalam Islam

Agama Islam, melalui Al Qur’an dan As Sunnah banyak menjelaskan tentang kedudukan akhlak. Di antaranya adalah penegasan bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku tidak diutus oleh Allah swt kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Malik). Sesungguhnya realisasi akhlak yang mulia merupakan inti risalah Nabi Muhammad saw.

Syi’ar-syi’ar ibadah Islam di antaranya dimaksudkan untuk menggapai akhlak mulia. Shalat misalnya, antara lain dimaksudkan untuk mentarbiyah dan mendidik manusia agar berhenti dari segala perbuatan keji dan munkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Ibadah puasa dimaksudkan, di antaranya untuk menggapai tingkatan taqwa (QS Al-Baqarah: 183). Berkaitan dengan ibadah puasa ini, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu (bohong), maka tidak ada keperluan bagi Allah swt terhadap puasa seseorang yang hanya sekadar meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)

Zakat, infak dan sedekah, di antara rahasianya adalah untuk menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai sifat buruk dan tercela (QS At-Taubah: 103). Sedangkan ibadah haji difardhukan oleh Allah kepada mereka yang mampu dengan banyak maksud dan aturan, misalnya agar orang yang beribadah haji terlatih untuk tidak berkata kotor, tidak berbuat fasik dan tidak banyak berdebat kusir (QS Al-Baqarah: 197).

 

Akhlak buruk berarti iman tak sempurna

Rasulullah saw bersumpah tiga kali dan menyatakan bahwa seseorang tidaklah beriman manakala tetangganya tidak merasa aman darinya. Sabdanya, ”Demi Allah, ia tidaklah beriman, demi Allah, ia tidaklah beriman, demi Allah, ia tidaklah beriman. Para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Yaitu seseorang, di mana tetangganya tidak mendapatkan keamanan darinya.” (HR Bukhari)

Lalu dalam rangka mendidik sahabat dan umatnya dari pembicaraan yang tidak baik, ngobrol ngalor ngidul yang tidak aman, serta hanya berbicara yang baik-baik, beliau saw bersabda, ”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari)

Selanjutnya jelas, kemuliaan akhlak menunjukkan kesempurnaan iman. Rasulullah bersabda, “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, lihat: Silsilah Hadits Shahih, hadits no. 284)

Kemuliaan akhlak pada akhirnya akan mengantarkan orang-orang beriman ini ke dalam surga. Rasulullah saw bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah ketaqwaan kepada Allah swt dan akhlak yang baik, sementara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan.” (hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, lihat: Silsilah Hadits Shahih, hadits no. 977)

Akhlak yang baik, setelah bimbingan dan taufik Allah swt, merupakan buah kesungguhan usaha kita untuk mendidik, mentarbiyah dan melatih diri dengan berbagai sifat terpuji. Juga merupakan hasil dari jihad tanpa henti dan tak kenal lelah dalam memerangi segala perangai, tabiat dan sifat buruk yang mungkin muncul dalam diri.

Di antara usaha sungguh-sungguh ini adalah upaya terus memohon kepada Allah dengan doa yang selalu dipanjatkan Rasulullah saw pada setiap kali beliau membaca iftitah, doa yang dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Al-Fatihah. Dalam doa iftitah ini beliau saw memohon, “… Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku akhlak yang terbaik, sebab tidak ada yang memberikan petunjuk kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Ya Allah, palingkan aku dari akhlak yang buruk, sebab tidak ada yang memalingkan akhlak yang buruk dariku kecuali Engkau.” (HR Muslim)

Semoga dengan usaha yang sungguh-sungguh dan jihad ini, kita terbimbing menjadi manusia yang ber-akhlaqul karimah.

 

Rasulullah Memiliki Akhlak paling Mulia

Di antara keistimewaan Nabi Muhammad saw adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki beliau saw semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul Mukminin Khadijah ra, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah.” (HR Bukhari)

Karena akhlak beliau yang mulia, luhur dan agung inilah ummul mukminin sangat yakin bahwa Muhammad saw bukan manusia biasa. Oleh karena itu saat beliau saw menyampaikan bahwa dirinya adalah nabi dan rasul, ummul mukminin langsung beriman tanpa sedikit pun keraguan. Perempuan mulia itu juga mengerahkan seluruh jiwa, kedudukan dan hartanya untuk keimanan dan dakwah.

Keagungan akhlak Rasulullah menjadi salah satu rahasia kemenangan beliau saw dalam menghadapi musuh-musuh dakwah. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS Al-Qalam: 1–7.

Hal ini diakui pula oleh musuh-musuh dakwah Rasulullah sendiri. Buktinya, tercatat dalam sirah nabawiyah bahwa beliau saw sangat dimusuhi oleh mereka, sampai-sampai mereka bermaksud membunuh beliau dengan cara yang sangat keji. Namun di saat yang sama, musuh-musuhnya ini juga menitipkan benda-benda berharga milik mereka kepada Rasulullah!

 

Musyafa Ahmad Rahim, Lc, MA

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*