Hari Guru diperingati setiap tanggal 25 November. Itulah bentuk penghormatan kolektif terhadap fungsi dan peran guru yang amat mulia. Walaupun dalam praktik harus diakui kemuliaan guru justru telah ditendang ke dasar jurang. Kita memegang kredo bahwa pendidikan adalah tiang utama kemajuan suatu bangsa. Juga kredo bahwa pendidikan tanpa guru adalah mustahil. Namun, kredo itu dalam praktik dikhianati dengan tahu dan mau.
Menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya membenarkan pengkhianatan itu. Guru sesungguhnya dan sepatutnya adalah pahlawan yang harus diberi tanda jasa berlipat ganda.
Terlalu lama negara memperlakukan guru sebagai pekerja murahan. Sama dengan memperlakukan tentara. Padahal kedua profesi itu adalah vital.
Rendahnya mutu manusia Indonesia yang berakibat pada kekalahan di dalam kompetisi global harus diakui adalah buah dari pengingkaran terhadap pendidikan, khususnya pengkhianatan terhadap guru yang berlangsung sangat lama, bahkan sampai hari ini.
Ketika memperingati Hari Guru, kemarin, masih terlihat para guru bantu yang berdemonstrasi mempertanyakan kejelasan nasib mereka. Mereka–jumlahnya ribuan–tidak diakui sebagai guru, tetapi tetap berfungsi dan dipercaya sebagai pengajar di berbagai sekolah.
Guru bukan malaikat. Karena itu, mereka tidak boleh dininabobokan pemuliaan semu melalui sebutan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Sekaranglah saatnya kemuliaan diberikan kepada guru secara lebih jelas, terarah, dan terukur. Salah satu alat ukur pemuliaan dan kemuliaan guru adalah tingkat gaji mereka.
Mulai tahun anggaran 2009, negara dengan bangga memenuhi perintah konstitusi menganggarkan 20% APBN untuk sektor pendidikan. Inilah saat dan momentum meningkatkan kesejahteraan guru. Alokasi anggaran yang demikian besar di sektor pendidikan memperlihatkan perubahan besar dalam orientasi pembangunan. Akan tetapi, terhadap guru tetap saja terjadi disorientasi, terutama dalam perkara kesejahteraan.
Tunjangan fungsional yang telah didengungkan berkali-kali hingga saat ini belum bisa diterapkan secara merata. Sertifikasi dijadikan alasan. Namun, terhadap sertifikasi pun terjadi disorientasi. Sertifikasi yang sesungguhnya pengakuan terhadap kompetensi disederhanakan menjadi kelengkapan dokumen semata.
Ganjalan lain kemuliaan guru adalah pembebanan kepada daerah untuk mengalokasikan APBD sebesar 20% bagi pendidikan. Dengan pembebanan itu, harkat dan martabat guru-guru di daerah atau kabupaten miskin tetap saja tidak termuliakan. Mereka terus dianaktirikan.
Kemuliaan guru juga terabaikan ketika Departemen Pendidikan yang mengelola anggaran menganggap peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari pembangunan sarana dan prasarana fisik. Pembangunan prasarana fisik menjanjikan fee dan komisi, sedangkan menaikkan gaji guru tidak membuka celah bagi kick back. Itulah disorientasi yang menyengsarakan guru.
Krisis pendidikan terlihat juga pada semakin kurangnya tenaga guru. Tidak semata karena distribusi yang timpang, tetapi memang minat menjadi guru lenyap. Mengapa? Karena tidak ada lagi kemuliaan pada profesi yang amat vital ini.
Kemuliaan kepada guru tidak boleh lagi dibatasi pada penghormatan saja. Pemuliaan dan kemuliaan guru ditentukan price, penghargaan melalui harga. Tidak lagi dikelabui penghormatan melalui sebutan pahlawan tanpa tanda jasa.
Sumber: Media Indonesia Online
Leave a Reply