Sekolah bukan Kawah Candradimuka

Ketika kita mendengar Kawah Candradimuka teringatlah kisah Gatotkaca dalam pewayangan jawa. Gatotkaca merupakan tokoh populer dengan kesaktian yang luar biasa. “Otot kawat balung wesi, turu ing awang-awang miber lanpa elar “ berotot seperti kawat, bertulang sekuat besi, mampu tidur di angkasa, dan bisa melesat terbang tinggi tanpa sayap, seperti itulah gambaran kesaktian dari Gatutkaca.

Nah…. kesaktian Gatutkaca ini didapatkan dari penggodokan di kawah Candradimuka. Konon ceritanya bahwa Gatutkaca ketika masih bayi diminta bantuan oleh para dewa untuk mengalahkan Kala Pracona yang menggempur Kahyangan. Bayi Gatutkaca dimasukkan ke kawah Candradimuka beserta seluruh senjata dari para dewa. Maka setelah penggodokan tersebut bayi Gatutkaca berubah menjadi lelaki dewasa lengkap dengan kesaktian dan senjata yang seperti Caping Basunanda, kotang Antakusuma, dan terompah Padakacarma. Pada akhir cerita Gatutkaca mampu mengalahkan Kala Percona yang menggemparkan kahyangan.

Kalau dianalogikakan dengan anak-anak kita bahwa anak kita ketika lulus dari kawah Candradimuka diharapkan menjadi anak yang kita harapkan, sesuai cita-cita sekolah. Anak yang sholih sholihah, berakhlak baik, mandiri dan unggul di prestasi akademik, serta segudang harapan yang lainnya. Namun, apakah untuk menjadikan harapan tersebut menjadi tugas sepenuhnya dari sekolah?

Kalau ditelisik kembali, anak kita mempunyai lingkungan keluarga dan sekolah yang saling berkaitan. Permasalahan yang dihadapi di rumah bisa berefek di sekolah, demikian juga sebaliknya. Berdasarkan pengalaman kami, ketika anak bermasalah di sekolah,  maka ia juga memiliki masalah di rumah.  Misalnya pada kasus siswa yang terlambat, beberapa terdeteksi mereka adalah anak-anak yang tidurnya larut malam karena main handphone. Bisa jadi orangtua tidak mengetahuinya, tidak memberi batasan atau ketentuan terkait dengan penggunaan handphone.  Ada lagi siswa yang kurang peduli dengan kebersihan dan kerapian karena di rumah semuanya serba dilayani oleh pembantu. Adapula siswa yang kurang hafalannya dikarenakan orangtua jarang melakukan murojaah di rumah bahkan ketika liburan grafik amal yaumi menurun ketika liburan karena di rumah tidak ada program dan kontroling kepada ananda. Beberapa kasus lainnya yang terjadi di sekolah adalah berkorelasi dengan pola asuh atau lingkungan keluarga.

Sekolah bukanlah Kawah Candradimuka yang mampu menghasilkan anak-anak dengan “kesaktian” secara tiba-tiba. Sekolah bukanlah kawah tempat yang tiba-tiba mampu menciptakan anak-anak sholih, anak yang memiliki hafalan banyak,  anak berkarakter, anak berprestasi yang membanggakan orangtua. Perlu adanya kerjasama antara sekolah dan orangtua dalam upaya sinkronisasi program untuk mencapai goal yang ingin dicapai bersama. Orangtua tidak boleh berlepas tangan atau pasrah bongkoan kepada pihak guru dan sekolah. Bukankah tidak selamanya anak-anak kita akan berada dibangku sekolah?

Anak kita kelak kembali kepada keluarga dan Alloh akan meminta pertanggungjawaban orangtua atas pengasuhan anak-anak kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن

“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).

Pada hakikatnya sekolah bukanlah Kawah Candradimuka untuk menghasilkan produk anak yang diinginkan, perlu adanya sinergitas antara orangtua dan sekolah.

(Rubiati – Wakil Kepala Bid. Kesiswaan SMPIT Insan Permata Malang)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*