Hukum-hukum yang Secara Umum Berkaitan dengan Kelahiran Anak

Abdullah-Nashih-Ulwanhasanalbanna.com –  Yang Harus Dilakukan Seorang Pendidik Saat Kelahiran Anak

Di antara keutamaan syariat Islam terutama bagi umat Islamnya sendiri, ialah bahwa syariat Islam telah menjelaskan tentang seluk beluk hukum dan dasar-dasar pendidikan yang berkaitan dengan anak. Dengan demikian seorang pendidik akan dapat melaksanakan kewajiban terhadap anak secara jelas. Sungguh merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan untuk melaksanakan kewajibannya secara sempurna sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh Islam dan yang digambarkan oleh pendidik pertama, Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam.

Berikut hukum-hukum penting yang wajib dilaksanakan oleh para pendidik pada masa kelahiran:

1.  Memberikan Ucapan Selamat dan Rasa Turut Gembira Ketika Seseorang Melahirkan

Dianjurkan kepada setiap muslim untuk segera memberikan ucapan selamat kepada sesama muslim yang melahirkan seorang anak. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan kecintaan antar keluarga muslim. Jika seseorang tidak berkesempatan untuk mengungkapkan rasa turut bergembira, maka baginya dianjurkan untuk memberikan ucapan selamat tersebut dengan cara mendoakan orang tua dan anaknya yang baru lahir. Semoga Allah menerima, mengabulkan, dan memeliharanya.

Al Quran menyebutkan pemberian ucapan selamat untuk kelahiran anak di dalam banyak kesempatan, sebagai petunjuk dan ajaran bagi umat Islam. Sebab, pemberian ucapan selamat ini –seperti yang penulis sebutkan- mempunyai pengaruh yang besar di dalam menumbuhkan dan menguatkan ikatan-ikatan sosial di kalangan kaum muslim.

Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman tentang kisah Ibrahim ‘Alaihis Salam“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, ‘Selamat.’ Ibrahim menjawab, ‘Selamatlah,’ maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada Luth.’ Dan istrinya berdiri (di sampingnya) lalu ia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub).” (QS. Huud: 69-71)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di dalam kisah Zakaria ‘Alaihis Salam:
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri salat di mihrab (katanya), ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya…’” (QS. Ali Imran: 39)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dia.” (QS. Maryam: 7)

Dalam beberapa buku sejarah disebutkan, bahwa ketika Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dilahirkan, Tsuwaibah memberikan kabar gembira (tentang kelahirannya) kepada pamannya, Abu Lahab, sedang ia adalah tuannya. Tsuwaibah berkata, “Malam ini telah lahir seorang anak laki-laki dari Abdullah, “Kemudian Abu Lahab memerdekakannya, karena merasa gembira dengan kelahirannya. Allah tidak menghilangkan pahalanya (karena merasa gembira dengan itu) baginya, dan Dia menyejukkannya setelah matinya pada sela-sela jari[5] pada akar ibu jarinya, sebagaimana yang diriwayatkan Al Bukhari.

As Suhaili menceritakan bahwa Al Abbas berkata: Setelah Abu Lahab mati, aku memimpikannya setelah berselang satu tahun bahwa ia berada dalam keadaan yang buruk. Ia berkata, “Aku tidak pernah menemukan kesenangan setelah kamu sekalian, kecuali bahwa siksa diringankan bagiku pada setiap hari Senin.” Hari Senin itu adalah hari dilahirkannya Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dan saat Tsuwaibah memberikan kabar gembira padanya tentang kelahiran beliau, kemudian Abu Lahab merasa gembira dengan kelahirannya.

Berkenaan dengan pemberian ucapan selamat kepada orang yang baru melahirkan anaknya, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah meriwayatkan di dalam bukunya, Tuhfatul Maudud, dari Abu Bakar Al Mundziri:

“Telah diriwayatkan kepada kami dari Hasan Al Bashri, bahwa seorang laki-laki telah datang kepadanya, dan di sampingnya ada seorang laki-laki baru saja dianugerahi seorang anak kecil.” Laki-laki itu berkata kepada orang yang mempunyai anak itu, “Selamat bagimu atas kelahiran seorang penunggang kuda.” Al Hasan berkata kepada laki-laki itu, “Apa pedulimu, apakah dia seorang penunggang kuda ataukah seorang penunggang keledai!” Laki-laki itu bertanya, “Jadi bagaimana kami harus mengucapkan?” Al Hasan menjelaskan, “Katakanlah, semoga engkau diberkahi dalam apa yang telah diberikan kepadamu. Semoga engkau bersyukur kepada yang memberi. Semoga engkau diberi rezeki dengan kebaikannya dan semoga ia mencapai masa balighnya.”

Pemberian kabar gembira dan ucapan selamat itu hendaklah bersifat menyeluruh bagi setiap anak yang dilahirkan, baik laki-laki maupun wanita tanpa ada perbedaan. Alangkah baiknya bagi kaum muslimin jika membiasakan kemuliaan ini di dalam masyarakat, sehingga ikatan mereka menjadi kuat dan mendalam di sepanjang masa, dan rasa cinta terjelma di dalam rumah tangga dan keluarga mereka. Dan alangkah layaknya mereka untuk melakukan hal-hal yang akan membawa mereka kepada kesatuan dan saling mengasihi, sehingga menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara, bersatu padu bagai bangunan yang melekat, saling menguatkan antara satu dengan lainnya.[6]

2.  Mengumandangkan Azan dan Ikamat Saat Kelahiran Anak

Di antara hukum yang telah disyariatkan Islam untuk anak yang baru dilahirkan adalah mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga kirinya. Hal itu dilakukan ketika anak baru dilahirkan.

Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu Rafi’ berkata:
“Aku melihat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam mengumandangkan azan pada telinga Al Hasan bin Ali, ketika Fatimah melahirkannya.”

Baihaqi dan Ibnu Sunni meriwayatkan dari Al Hasan bin Ali dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam:

“Siapa yang baru mendapatkan bayi, kemudian ia mengumandangkan azan pada telinga kanannya dan ikamat pada telinga kirinya maka anak yang baru lahir itu tidak akan terkena bahaya Ummush Shibyan.”[7]

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu:
“Bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam telah mengumandangkan azan pada telinga Al Hasan bin Ali (yang sebelah kanan) ketika ia baru dilahirkan dan mengumandangkan ikamat pada telinga kirinya.”

Adapun hikmah dari azan dan ikamat di sini, menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah di dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud, agar suara yang kali pertama diterima pendengaran manusia adalah kalimat-kalimat seruan Yang Maha Tinggi yang mengandung kebesaran Tuhan, juga syahadat sebagai kalimat pertama-tama masuk Islam. Hal itu adalah merupakan talqin (pengajaran) baginya tentang syariat Islam ketika anak baru memasuki dunia, sebagaimana halnya kalimat tauhid di-talqin-kan kepadanya ketika ia meninggal dunia. Dan tidak mustahil bila pengaruh azan itu akan meresap di dalam hatinya, walaupun ia tidak merasa.

Hikmah lainnya adalah, larinya setan karena kalimat-kalimat azan, di mana ia selalu menunggunya hingga dilahirkan. Dengan azan itu, maka setan akan mendengar apa yang melemahkannya dan dibencinya pada masa pertama ia ingin mengikat dan mempengaruhinya.

Seruan azan itu mengandung makna lain, yaitu supaya dakwah kepada Allah dan agama-Nya, Islam dan menyembah-Nya dapat mendahului dakwah setan, seperti halnya fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu dapat mendahului setan dalam usaha mengubah dan memindahkannya. Dan masih banyak hikmah lainnya.

Hikmah-hikmah lain yang dikemukakan Ibnul Qayyim ini merupakan dalil yang paling besar bagi perhatian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam terhadap akidah tauhid, keimanan dan upaya mengusir setan dan hawa nafsu, sejak anak baru mencium bau dunia dan menghirup angin kehidupan.

3.  Menggosok Langit-Langit Mulut Anak Setelah Dilahirkan (Tahnik)

Di antara hukum yang disyariatkan Islam bagi anak yang baru dilahirkan adalah anjuran untuk menggosok langit-langit (mulut bagian atas) anak sesaat setelah dilahirkan.

Yang dimaksud dengan menggosok langit-langit adalah mengunyah kurma dan menggosokkannya ke langit-langit mulut anak yang baru dilahirkan. Hal itu dilakukan dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah di atas jari dan memasukkan jari itu ke dalam mulut anak, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang lembut, hingga merata. Jika kurma itu sulit didapat, maka penggosok itu dapat dilakukan dengan bahan yang manis lainnya, seperti saripati gula yang dicampur dengan air bunga. Hal itu dilakukan untuk mempraktikkan sunah dan mengikuti apa yang telah dikerjakan Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam.

Barangkali hikmah yang terkandung adalah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menetek dan menghisap susu secara kuat dan alami. Lebih utama penggosokkan ini dilakukan oleh orang yang memiliki sifat takwa dan saleh sebagai suatu penghormatan, dengan harapan semoga si anak juga menjadi orang yang saleh dan takwa pula.

Di antara hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ahli fikih dan sunahnya menggosok langit-langit mulut anak adalah di dalam Sahihain, dari hadis Abu Burdah:
“Bahwa Abu Musa radiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku telah dikaruniai seorang anak. Kemudian aku membawanya kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok-gosok langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendoakannya dengan keberkahan. Setelah itu, beliau menyerahkannya kembali kepadaku.”

Di dalam Sahihain, bahwa Anas bin Malik berkata, “Diceritakan, bahwa anak Abu Thalhah sakit. Sedangkan Abu Thalhah keluar rumah. Kemudian anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali pulang, ia bertanya, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia tenang seperti sedia kala.” Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam untuknya dan makanlah dia. Setelah itu, ia menggaulinya. Setelah selesai (menggaulinya), Ummu Sulaim berkata, “Kuburkanlah anakmu.” Keesokan harinya Abu Thalhah mendatangi Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam dan memberitahukan kepada beliau tentang kejadiannya. Nabi bersabda, “Apakah engkau tadi malam telah pengantinan?” (sebuah sindiran atas hubungan suami istri) Ia menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Ya Allah, berikanlah berkah kepada mereka berdua.” Kemudian Ummu Sulaim melahirkan seorang anak. Maka Abu Thalhah berkata kepadaku, “Bawalah dia kepada Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam.” Bersama anak itu, ia telah membawakan beberapa buah kurma. Kemudian Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam mengambilnya dan bertanya, “Apakah ada sesuatu bersamanya?” Mereka berkata, “Ya, buah kurma.” Kemudian Nabi Sholallahu ‘alaihi wassalam mengambil buah kurma itu dan mengunyahnya, lalu mengulumkan mulutnya ke dalam mulut anak itu. Kemudian menggosok-gosokkannya dan menamakannya Abdullah.

Al Khilal pernah diberitahu oleh Muhammad bin Ali, bahwa ia pernah mendengar ibu anak Ahmad bin Hanbal berkata:

Ketika aku merasa sakit karena melahirkan anak, tuanku sedang tidur. Kemudian aku berkata kepadanya, “Wahai tuanku, aku ini mau mati.” Ia berkata, “Semoga Allah menghilangkan sakitmu.” Seketika aku melahirkan Sa’id. Lalu ia berkata, “Berikanlah buah kurma itu, kami mempunyai kurma dari Mekkah.” Kemudian ia berkata kepada ibu Ali, “Kunyahlah buah kurma ini dan gosokkanlah kepadanya.” Kemudian aku melakukannya.

 4.    Mencukur Rambut Kepala Anak

Di antara hukum yang disyariatkan Islam untuk anak yang baru dilahirkan adalah sunah mencukur rambut kepala pada hari ketujuh dari kelahirannya, dan menyedekahkan uang perak kepada orang-orang fakir yang berhak seberat timbangan rambutnya.

Hal ini mempunyai dua hikmah. Pertama, berupa kesehatan, di mana mencukur rambut anak akan mempertebal daya tahan tubuh anak, membuka selaput kulit kepala, dan mempertajam indra penglihatan, penciuman dan pendengaran.[8] Kedua, berupa kemaslahatan sosial, di mana bersedekah dengan perak sebanyak berat timbangan rambut anak merupakan salah satu sumber lain bagi jaminan sosial. Hal ini merupakan suatu cara untuk mengikis kemiskinan dan suatu bukti nyata adanya tolong menolong dan saling mengasihi di dalam pergaulan masyarakat.

Berbagai hadis yang dijadikan dalil oleh para ahli fikih tentang sunah mencukur dan bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut itu adalah:

Di dalam Al Muwaththa’, Imam Malik meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, bahwa ia berkata:

“Fatimah radiyallahu ‘anha telah menimbang rambut kepala Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum. Seberat timbangan rambut itulah ia menyedekahkan perak.”

Ibnu Ishak telah meriwayatkan dari Abdullah bin Bakar, dari Muhammad bin Ali bin Al Husain radiyallahu ‘anhu:

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam telah mengadakan akikah dengan seekor kambing untuk Al Hasan. Beliau bersabda, ‘Hai Fatimah, cukurlah rambut kepalanya dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat rambutnya.’ Kemudian Fatimah menimbangnya dan mencapai satu dirham atau sebagian dirham.

Yahya bin Bakir telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu:

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam telah memerintahkan mencukur kepala Al Hasan dan Al Husain pada hari ketujuh kelahiran mereka. Mereka dicukur dan menyedekahkan perak sesuai dengan berat timbangan rambutnya itu.”

Di dalam masalah mencukur ini, terdapat perbedaan pendapat tentang masalah menjambul. Artinya, mencukur sebagian rambut anak dan menyisakan sebagian lainnya.

Larangan menjambul ini, secara tegas telah disebutkan di dalam hadis yang dikeluarkan  oleh Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata:

“Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam telah melarang untuk menjambal (rambut anak).”

Jambul yang dimaksud dalam larangan ini ada empat macam:

  1. Beberapa bagian kepalanya dicukur tidak merata (tampak bergaris-garis).
  2. Bagian tengahnya dicukur dan bagian tepinya dibiarkan.
  3. Bagian tepinya dicukur dan bagian tengahnya dibiarkan.
  4. Bagian depannya dicukur dan bagian belakangnya dibiarkan.

Semua ini seperti yang dikatakan Ibnul Qayim, merupakan bukti kecintaan Allah dan Rasul-Nya. Beliau telah memerintahkan berbuat adil, sampai pada dirinya sendiri. Beliau melarang seseorang untuk mencukur sebagian rambutnya dan membiarkan sebagian yang lain. Sebab hal itu merupakan perbuatan zalim terhadap kepala, karena sebagian rambutnya dicukur, sedang sebagian lainnya dibiarkan tumbuh. Sama dengan hal ini, beliau telah melarang duduk di antara sinar matahari dan bayang-bayang. Sebab hal itu merupakan suatu perbuatan zalim terhadap badannya. Demikian pula, beliau melarang seorang berjalan dengan mengenakan sebelah sandal, tetapi hendaknya mengenakan keduanya atau melepas keduanya.

Hikmah lain adalah, bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam menginginkan seorang muslim dapat tampil di masyarakat dengan cara yang layak. Sedangkan mencukur sebagian rambut dan membiarkan tumbuh sebagian lainnya bertentangan dengan kehormatan dan kecantikan seorang muslim. Selain itu pula bertentangan dengan kepribadian Islam yang menjadi ciri khas seorang muslim untuk membedakannya dengan para pengikut agama dan kepercayaan yang lain, serta dengan orang-orang fasik yang tidak tahu malu dan durhaka.

Namun sayang sekali, ternyata banyak orang tua dan pendidik yang benar-benar tidak mengetahui hukum ini. Bahkan banyak kita dapatkan di antara mereka, yang apabila kita kemukakan hukum ini, mereka merasa heran dan aneh. Hal ini karena mereka tidak terbiasa dan tidak pernah melihat ada orang yang menerapkan dan melaksanakannya, kecuali orang-orang yang dikasihi Tuhan.

Penulis ingin mengingatkan kepada mereka bahwa ketidaktahuan itu bukanlah alasan dalam syariat Islam. Dan bahwasanya orang yang tidak mau mempelajari apa yang harus mereka ketahui dari persoalan-persoalan keagamaan mereka dan persoalan pendidikan anak-anak mereka tidak akan selamat dari tanggung jawab yang harus dipikulnya pada hari manusia dihadapkan kepada Tuhan semesta alam.

Sekalipun hukum yang telah penulis sebutkan tadi termasuk hal-hal yang bersifat anjuran dan sunah, namun tetap harus dilaksanakan dan diterapkan secara menyeluruh di dalam keluarga, anak-anak dan kerabat kita. Sebab, apabila kita menyepelekan hal-hal yang dianjurkan dan disunahkan, maka akan berakibat menyepelekan hal-hal yang wajib, kemudian menyepelekan Islam secara keseluruhan., dan akhirnya kaum Muslimin akan jatuh ke dalam kekufuran dan kesesatan secara terang-terangan serta lepas dari agamanya. Oleh karena itu, hendaklah para pendidik menerapkan hukum-hukum dan anjuran-anjuran ini kepada anak-anak mereka satu demi satu, sehingga mereka mendapatkan rida Allah Subhanahu Ta’ala dan dapat melaksanakan Islam, baik di dalam perkataan maupun perbuatan. Semoga Allah memenangkan mereka atas msusuh-musuhnya, dan mengembalikan kejayaan mereka yang terpendam. Semua itu tidaklah sulit bagi Allah untuk melakukannya.


[5] Setelah matinya, Abu Lahab pernah minum dari sela-sela jemarinya, lantaran kegembiraannya atas kelahiran putra saudaranya, Muhammad Sholallahu ‘alaihi wassalam.

[6] Apa yang dilakukan sebagian keluarga dengan memberikan bunga dan hadiah-hadiah kepada keluarga yang melahirkan, adalah sesuatu yang baik. Sebab hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi was sallam: ”Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” Hal ini juga termasuk hal yang dapat menambah kecintaan di kalangan kaum muslimin.

[7] Ummush Shibyan ialah angin yang dihembuskan kepada anak, menjadikan anak takut kepadanya. Dikatakan, bahwa yang dimaksud adalah pengikut jin, yang oleh sebagian orang disebut qarinah.

[8]Ibnul Qayim dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*