Saat marah, pernahkah Anda merasakan napas tersengal-sengal, suhu tubuh mendadak meningkat, jantung berdebar begitu hebat, bahkan kepala menjadi berat dan pusing. Apa yang sebenarnya terjadi?
ummi-online.com – Marah merupakan istilah emosional untuk agresi. Karena ia bentuk dari emosi, maka erat kaitannya dengan pikiran. Bagian otak yang mengatur emosi adalah sistem limbik. Sistem ini berada di otak tengah yang berperan, dan terdiri dari hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik.
Menurut dr Suzy Yusna Dewi, SpKJ, dokter sekaligus pemilik Talenta Center, Bekasi, kemarahan seseorang pun mesti dilihat dari penyebabnya. Ada dua hal utama yang bisa menyebabkan seseorang bisa marah. “Pertama, kepribadiannya atau pola yang ia pelajari memang seperti itu. Kedua, dia terpancing ketika kondisi emosinya sedang tidak stabil atau saat itu sedang tidak bisa mengontrol emosinya,” paparnya.
Kemarahan yang pertama, kata Suzy, erat kaitannya dengan pola asuh serta pola pembelajaran. Bila sejak kecil anak sering “diajarkan” mengekspresikan marah dari orangtua yang tipenya emosional, maka ia akan besar dengan menjadikan kemarahan sebagai hal yang lumrah. Ia akan sering menggunakan kemarahan dalam berbagai kesempatan sebagai cara untuk menghendaki sesuatu.
Penyebab kedua, disebabkan oleh emosi yang tidak stabil. Hal ini bisa terjadi karena adanya gangguan di neurotransmiter (pengantar sinyal saraf) otak, gangguan biologis, ketidakseimbangan hormon kortisol, sehingga menyebabkan seseorang menjadi pencemas dan mudah memicu kemarahan. Penyebab lainnya bisa juga dikarenakan ia sedang berada dalam fase stres atau depresi.
YANG BISA PENGARUHI AMARAH
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di University of Valencia, Spanyol, saat seseorang sedang dalam kemarahan, terjadi perubahan dalam respons aktivitas jantung, hormonal, dan asimetris otak.
“Dorongan emosi menghasilkan perubahan besar dalam sistem saraf otonom yang mengontrol respons kardiovaskular, dan juga dalam sistem endokrin. Selain itu, perubahan dalam aktivitas otak juga terjadi terutama di lobus frontal dan temporal,” terang Neus Herrero, peneliti utama dari tim penelitian University of Valencia.
Dalam penelitian ini, Neus menggunakan 30 orang yang akan “dibuat marah” sebagai obyek penelitian. Hasilnya, mereka yang marah memiliki kondisi pikiran yang negatif. Ditambah, ada peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan testosteron, namun kadar kortisol agak menurun.
Dalam penelitian yang dilakukan di University of Cambridge, dikemukakan fluktuasi kadar hormon serotonin juga memengaruhi sistem limbik. Dr Molly Crocket, peneliti dari Cambridge’s Behavioural and Clinical Neuroscience Institute mengungkapkan, naik turunnya kadar serotonin ini sering terjadi saat seseorang kelaparan atau sewaktu stres.
Serotonin dikenal sebagai hormon yang mengendalikan mood. Serotonin merupakan neurotransmiter dan menjadi target obat-obatan antidepresan. Kekurangan kadar serotonin dalam membuat otak korteks prefrontal lebih sulit mengontrol emosi atau kemarahan yang dihasilkan amigdala. Akibatnya, seseorang akan jadi mengalami rasa cemas, mudah marah, dan muncul keinginan memakan yang manis-manis.
Penelitian ini juga menyoroti mengapa seseorang menjadi lebih agresif saat belum makan atau sedang lapar. Karena kadar serotonin seseorang secara alami akan menurun ketika kita tidak makan, maka cara untuk mendapatkan bahan baku untuk serotonin, yakni triptofan, adalah dengan mengonsumsi makanan yang kaya triptofan, seperti unggas dan cokelat.
Para ilmuwan sebenarnya sudah mengetahui sejak lama bahwa serotonin memainkan peran penting dalam agresi. “Namun baru-baru ini kami memiliki teknologi untuk melihat ke dalam otak dan menguji bagaimana serotonin membantu kita mengatur dorongan emosi,” papar Crocket seperti dilansir Science Daily.
TENANGKAN DIRI
Saat seseorang sudah merasakan marah, sebaiknya ia segera mengingat diri. Karena, kemarahan yang tidak dikelola mampu memicu gangguan baik jiwa maupun fisik. Apa efeknya pada fisik? Hasil salah satu penelitian menunjukkan, individu dengan intensitas kemarahan yang sering berisiko dua kali lebih besar terkena penyakit arteri koroner dan tiga kali risiko serangan jantung, dibandingkan orang-orang yang mampu mengendalikan diri. Selain itu, mereka juga berpotensi mengalami kerusakan hati, ginjal, serta kolesterol tinggi.
Menurut Suzy, setiap orang sudah semestinya mempelajari kemarahan agar mampu mengelolanya dengan lebih bijak. “Bisa dengan latihan. Sebab, kemarahan yang diolah secara terus-menerus akan membantu sistem limbik dan lobus frontalnya bekerja lebih baik. Sehingga, saat seseorang mau marah, dia akan berpikir dampaknya ke dirinya maupun orang lain.”
Relaksasi bisa menjadi cara untuk mengatasi ataupun mengurangi kemungkinan kemarahan. Relaksasi meningkatkan sensasi di tubuh, seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan, dan sebagainya.
Ada beberapa bentuk dari relaksasi yang mampu mengurangi kemarahan. Rasulullah bahkan mencontohkan di salah satu haditsnya, bila kita marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika belum pula reda, berbaringlah. Jika tak kunjung tenang, maka berwudhulah.
“Pada intinya yang dipaparkan dalam hadits adalah bentuk-bentuk relaksasi. Dalam duduk atau berbaringnya, ia tetap mesti menenangkan diri. Latihan relaksasi setiap hari juga melatih seseorang mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi,” ujar Suzy.
Sedemikian besarnya efek amarah terhadap kesehatan tubuh kita, masihkah kita enggan mengelola kemarahan?
Leave a Reply