Anak SD Nonton TV Empat Jam per Hari

surya.co.id Para orangtua sebaiknya mulai lebih bijaksana untuk mendampingi dan membatasi putra putrinya menikmati tayangan televisi. Ini karena kecenderungan yang terjadi, waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton tayangan televisi sudah melebihi jam belajar.

Anggota Bidang Kelembagaan dan Sosialisasi, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jatim, Muhammad Dawud menjelaskan, banyaknya waktu anak-anak yang tersita untuk menonton acara televisi harus diwaspadai orangtua. Ini karena tayangan tersebut bisa menimbulkan dampak psikologis kepada mereka.

Penelitian AGB Nielsen Media Research yang terakhir menunjukkan, waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton siaran televisi dalam sepekan rata-rata 28 hingga 35 jam. Jumlah tersebut lebih besar daripada jam sekolah anak-anak yang biasanya berlangsung antara pukul 07.00 – 12.00 WIB, dikurangi waktu istirahat.

Masih berdasarkan data Nielsen, sebanyak 21 persen pemirsa TV adalah anak-anak dengan usia 5-14 tahun. Waktu menonton TV bagi mereka terutama pada pukul 06.00 – 10.00 dan antara pukul 12.00 – 21.00.

Pada jam tayang utama (18.00 – 21.00) ada sekitar 1,4 juta anak-anak yang menonton TV. Padahal waktu tersebut seharusnya dipakai untuk belajar di rumah.

”Angka tersebut hasil survei kepemirsaan TV di 10 kota di Indonesia, termasuk Surabaya. Hingga saat ini data ini masih relevan,” jelas kepada Surya, Rabu (5/1).

Yang mengejutkan, program yang lebih banyak ditonton anak-anak adalah sinetron, yakni lebih dari 50 menit dalam sehari. Sedangkan waktu menonton program khusus anak hanya sekitar 20 menit saja. Sisanya untuk sejumlah program lainnya.

Agar anak tidak semakin kecanduan, para orangtua diminta mendampingi dan membatasi jam menonton anak. ”Jangankan menonton lebih dari empat jam, wong menonton televisi dua jam per hari saja anak akan mudah terkena pengaruh psikologis,” tegas mantan wartawan ini.

Dengan pola menonton yang cukup lama, anak akan mudah terobsesi tayangan televisi yang banyak mengumbar mimpi indah dan kehidupan bergelimang materi yang tidak sesuai dengan kehidupan keseharian mereka. Sehingga saat dewasa, anak akan terdorong mewujudkan obsesinya, misalnya mencari pasangan hidup yang kaya raya.

Untuk anak usia Sekolah Dasar, karena seringnya menonton sinetron bertema percintaan, mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya. Mereka mulai mengenal jatuh cinta dan pacaran.

”Itu belum termasuk gaya bahasa yang jorok, pola hidup bebas, dan pengaruh negatif lainnya,” imbuhnya.

Keprihatinan serupa disampaikan pakar Psikologi Universitas Airlangga, Nuraini Fardana Nawangsari. Banyaknya anak usia sekolah yang menggandrungi tayangan televisi makin memprihatinkan.

Apalagi mereka menonton pada jam-jam efektif untuk belajar. “Sementara tayangan televisi kita kebanyakan sampah,” ungkap Nuraini kepada Surya.

Hampir semua acara yang disajikan tidak mengajak masyarakat berpikir kritis dan rasional. Televisi menyajikan hal-hal instan, ingin cepat terkenal, atau cepat berhasil kaya tanpa melalui perjuangan.

“Menonton televisi sama saja membuang energi. Eman, energi yang seharusnya untuk belajar, musnah,” lanjut Nuraini.

Tayangan televisi bisa menimbulkan ketergantungan bagi anak, memicu imajinasi dan mengabaikan pola berpikir realistis. Akibatnya, perkembangan mental dan cara berpikir anak menjadi terkontaminasi.

Menonton, kata dia, adalah budaya malas karena hanya mengandalkan indera penglihatan dan pendengaran. Sebaliknya, bagi anak dibutuhkan budaya membaca dan berpikir kritis.

“Boleh menonton televisi asal selektif. Anak harus diajari kritis dengan menunjukkan sisi positif dan negatif,” ucap pakar psikologi perekembangan pendidikan anak ini.

Untuk mengurangi candu televisi, menurut anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jatim, Donny Maulana Arif, orangtua harus mengarahkan kegiatan anak di luar jam sekolah agar lebih banyak bermain dan melakukan aktivitas yang bersifat positif dan kreatif, misalnya mengembangkan bakat di bidang olahraga, seni, dan bidang kreatif lainnya. nuji/fai

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*